happy whidy

Rabu, 17 Maret 2010

TINJAUAN YURIDIS KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UU RI NO. 31 TAHUN 1999 JO UU RI NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Alasan Memilih Judul.
Dalam upaya pemberantasan korupsi banyak kendala yang dihadapi aparatur penegak hukum. Salah satu yang menjadi polemik pada saat aparatur penegak hukum tersebut menangani perkara atau kasus Tindak Pidana Korupsi adalah dimana tidak adanya kerugian terhadap keuangan Negara. Disisi lain korupsi dapat dikatakan telah berakar di benak para pelakunya. Berbagai macam upaya Pemerintah telah dilakukan dalam hal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik dari segi perbaikan peraturan perUndang-undangan sampai dengan reformasi aparatur serta membuat badan independen pemberantasan korupsi.
Pada tahun 2005, menurut data Pacific Economic dan Risk Consultancy, Indonesia menempati urutan pertama sebagai Negara terkorup di Asia. Jika di lihat dalam kenyataan sehari-hari korupsi hampir terjadi di setiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat .
Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum, seperti memberi hadiah kepada pejabat/pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan. Kebiasaan itu dipandang lumrah dilakukan sebagai bagian dari budaya ketimuran. Kebiasaan koruptif ini lama-lama menjadi bibit-bibit korupsi yang nyata .
Dimana di Indonesia korupsi seperti membudaya, walaupun perbuatan korupsi sendiri bukan merupakan yang termasuk dalam kategori / atau yang dimaksud dalam definisi budaya.
Di sisi lain dalam acara International Criminal Police Organisation 10 th ASIAN REGIONAL CONFERENCE tanggal 11 April 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan :
“korupsi bisa dihapus dalam satu generasi, bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meyakini kejahatan korupsi dapat diberantas dalam satu generasi, anda boleh berfikir bahwa saya (Presiden) terlalu optimistis, tapi saya percaya bahwa korupsi dapat di hapuskan secara signifikan dalam satu generasi” Hal tersebut menurut Presiden terjadi di Negara lain seperti Hongkong dan Singapore” .

Agaknya ada suatu muara besar tentang korupsi yang perlu ditelusuri, mengapa korupsi bisa terjadi. Jatuhnya moralitas yaitu moral yang meracuni sifat ingin mendapatkan apa yang bukan haknya atau dengan kata lain usaha illegal, aksi tipu-tipu, suap dan upeti (gratifikasi) seperti menjadi pertanda bahwa sikap inilah yang menjadi biang berbagai kasus korupsi.
Salah satu sisi kelebihan orde reformasi dibandingkan orde sebelumnya adalah dimana banyaknya dilakukan pembaharuan hukum, salah satunya berkaitan dengan korupsi. Dalam usaha pemberantasan korupsi selain telah diadakan pembaharuan terhadap sumber hukum pokok pemberantasan tindak pidana korupsi, juga telah dibentuk dan diberlakukan pula berbagai perangkat peraturan perundang-undangan lainnya sebagai penunjang dan pelengkap dasar hukum bagi pemerintah dalam upaya pencegahan serta pemberantasan tindak pidana korupsi.
Namun demikian tetap saja sampai dengan saat ini antara para pihak, baik dari tingkat legislatif, yudikatif, dan eksekutif sendiri masih ada perbedaan persepsi mengenai apa dan bagaimana serta seperti apa (kriteria) yang termasuk kerugian Negara dan mengenai apa dan bagaimana serta seperti apa yang termasuk keuangan Negara.
Pada dasarnya dalam penanganan kasus / perkara Tindak Pidana Korupsi, kerap / atau sering kali aparatur (baik Penyidik, Penuntut Umum / jaksa, dan hakim) berhadapan / terbentur dengan permasalahan dimana tidak adanya kerugian terhadap keuangan Negara, sekalipun unsur melawan hukum (weterrechtelijk) dari pasal-pasal dalam UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi telah terpenuhi.
Tidak jarang beda pendapat antara penyidik dengan penuntut umum atau penuntut umum dengan hakim mengenai kerugian Negara dan keuangan Negara menjadikan terhadap suatu penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi menjadi jalan di tempat bahkan terhambat, meskipun unsur melawan hukum serta unsur-unsur lain dalam suatu pasal yang disangkakan kepada tersangka atau terdakwa telah terpenuhi.
Dalam pasal 4 UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi menyatakan bahwa “pengembalian kerugian Negara tidak menghapus pidana”.
Namun demikian pada kenyataannya apabila tanpa adanya kerugian Negara atau kerugian negara telah dikembalikan maka terhadap suatu penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi jarang sekali berakhir seperti yang di cita-citakan. Walaupun ada pasal-pasal dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang tidak mengharuskan adanya Kerugian Negara dalam salah satu unsurnya.
Dari kenyataan tersebut di atas dapat diketahui bahwa sekalipun dalam Pasal 4 UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi menyatakan bahwa “pengembalian kerugian Negara tidak menghapus pidana”, pada kenyataannya unsur merugikan keuangan Negara adalah hal yang sangat menentukan bagi penanganan kasus / perkara tindak pidana korupsi.

Oleh karena itu, maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan ini ke dalam sebuah skripsi yang diberi judul “ TINJAUAN YURIDIS KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UU RI NO. 31 TAHUN 1999 JO UU RI NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI “.

B. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari pada penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejauh mana implementasi Pasal 4 UU RI No. 31 tahun 1999 berkaitan dengan pengembalian Kerugian Keuangan Negara menurut UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi Jo UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi dalam kenyataannya.
2. Untuk mengetahui mengenai kriteria kerugian keuangan Negara.
Sedangkan kegunaan penelitian dalam rangka penulisan skripsi ini adalah :
1. Sebagai bahan informasi ilmu pengetahuan hukum bagi masyarakat luas serta secara teoritis penelitian ini dapat memperkaya khazanah ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya, dalam mempelajari dan memahami tentang peraturan perundang-undangan terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Sebagai bahan masukan sekaligus juga sebagai bahan sumbangan pemikiran bagi masyarakat umum khususnya bagi aparat penegak hukum dalam menangani dan menyelesaikan masalah-masalah yang berkenaan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.

C. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas, maka penulis membatasinya hanya dengan membicarakan mengenai :
1. Bagaimana pengembalian Kerugian Keuangan Negara menurut UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi Jo UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi dalam kenyataannya ?
2. Bagaimanakah kriteria yang dimaksud dengan kerugian keuangan Negara dalam kenyataannya ?

D. Metode dan Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, pada prinsifnya digunakan metode penulisan hukum normatif yang pada dasarnya bersifat deskriktif, yaitu suatu metode penulisan hukum yang berusaha untuk memberikan gambaran-gambaran secara umum mengenai masalah yang akan dibahas, untuk kemudian dianalisis dan dipecahkan melalui penafsiran-penafsiran terhadap dan / atau berhubungan dengan bahan hukum yang ada.
Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang berupa peraturan perundang-undangan. Dalam skripsi ini bahan hukum primer meliputi :
- UU RI No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ;
- UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi ;
- UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi ;
- UU RI No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara ;
- UU RI No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara ;
- UU RI No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ;
- UU RI No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang beorientasi sepenuhnya kepada literatur-literatur serta buku-buku, bacaan lainnya yang berhubungan dengan permasalahannya yang relevan dengan pokok bahasan.
Selanjutnya, bahan-bahan hukum tersebut dipilah-pilah dengan terlebih dahulu menganalisis hal-hal yang bersifat umum, lalu kemudian di hubungkan dengan hal-hal yang bersifat khusus, sehingga diperoleh bahan hukum yang sebenarnya, untuk selanjutnya disusun sesuai dengan sistematikanya.
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini dibagi ke dalam 4 (empat) bab pembahasan yang secara garis besarnya dapat dikemukakan sebagai berikut :
Bab I merupakan Pendahuluan yang berisikan alasan pemilihan judul, tujuan dan kegunaan penulisan, perumusan dan pembatasan masalah, metode dan teknik penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II merupakan Landasan Teoritis dan Yuridis tentang Tindak Pidana Korupsi, yang mengenai tentang Pengertian dan Dasar Hukum Tindak Pidana Korupsi, jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi, Rumusan Pidana Korupsi menurut pasal 2 dan 3 UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pengertian dan Dasar Hukum Keuangan Negara dan Kerugian Negara, serta Perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi tanpa kerugian Keuangan Negara.
Bab III merupakan Masalah pengembalian kerugian Keuangan Negara menurut UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam kenyataannya, serta mengenai kriteria yang dimaksud dengan kerugian keuangan Negara dalam kenyataannya.
Bab IV merupakan penutup yang berisikan beberapa kesimpulan dan saran terhadap pokok masalah yang dibahas dalam skripsi ini.
BAB II
LANDASAN TEORITIS DAN YURIDIS TENTANG
TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Pengertian dan Dasar Hukum Tindak Pidana Korupsi.
Istilah korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa latin yakni corruptio atau corruptus yang disalin ke berbagai bahasa. Misalnya disalin dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt dalam bahasa Perancis menjadi corruption dan dalam bahasa Belanda disalin menjadi istilah corruptie (koruptie) . Dapat dikatakan bahwa korupsi dalam bahasa Indonesia menyadur dari kata corruptie dalam bahasa Belanda.
Adami Chazawi dalam bukunya Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia mengatakan bahwa :
Istilah korupsi dikenal dalam peraturan perUndang-undangan Indonesia pertama kali yaitu dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 (BN No. 40 tahun 1958) yang diberlakukan pula bagi penduduk dalam wilayah kekuasaan angkatan laut melalui Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.1/17 tanggal 17 april 1958 .

Namun demikian istilah korupsi tersebut tidak secara tersurat ada di katakan atau disebutkan dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 (BN No. 40 tahun 1958) dan dalam Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.1/17 tanggal 17 april 1958.
Dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 (BN No. 40 tahun 1958) dan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.1/17 tanggal 17 april 1958, korupsi dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
1. Perbuatan Korupsi Pidana
Adalah apabila terjalin unsur-unsur kejahatan dan pelanggaran dengan demikian dapat dipidana dengan hukuman badan dan / atau denda yang cukup berat disamping perampasan harta benda hasil dari korupsi.
2. Perbuatan Korupsi Bukan Pidana
Adalah apabila terdapat unsur perbuatan melawan hukum, perbuatan korupsi ini tidak diancam dengan hukuman pidana melainkan diadili oleh Pengadilan tinggi atau gugatan Badan Koordinasi penilik harta benda.
Menurut S. Anwary dalam bukunya Quo Vadis Pemberantasan Korupsi di Indonesia lengkapnya mengenai perumusan korupsi pidana dan korupsi lainnya adalah sebagai berikut :
1. Perbuatan Korupsi :
Yang disebut dengan perbuatan korupsi adalah :
a) Perbuatan yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau daerah atau merugikan suatu badan keuangan Negara atau daerah dan badan hukum lain, yang mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat ;
b) Perbuatan yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, serta yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan;
c) Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, pasal 210, pasal 418, pasal 412, pasal 420 Kitab Undang-undang hukum pidana.

2. Perbuatan Korupsi lainnya :
Yang dimaksud sebagai perbuatan Korupsi lainnya adalah :
a) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau daerah atau merugikan suatu badan keuangan Negara atau daerah dan badan hukum lain, yang mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat ;
b) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, serta yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan .

Dimana dalam hal ini korupsi yang dimaksud dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 (BN No. 40 tahun 1958) dan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.1/17 tanggal 17 april 1958 tersebut ada pemisahan dimana ada yang termasuk lingkup Korupsi Pidana dan ada pula yang termasuk korupsi jenis lainnya.
Dikarenakan sifat dari peraturan tersebut hanya sementara (temporer), maka Pemerintah Indonesia saat itu menganggap perlu adanya pengganti dari peraturan tersebut. Dimana oleh Pemerintahaan saat itu keadaan yang demikian (terhadap tindak pidana korupsi) dianggap sebagai hal yang mendesak, maka dengan berdasarkan Pasal 96 ayat (1) UUDS tahun 1950, ditetapkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian berdasarkan UU RI No. 1 tahun 1960, Peperpu No. 24 tahun 1960 dirubah menjadi UU RI No. 24 Prp tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Didalam UU RI No. 24 Prp tahun 1960 tersebutlah pertama kali secara tersurat digunakan istilah Tindak Pidana korupsi dalam peraturan perUndang-undangan.
Dimana pertimbangan diundangkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian berdasarkan UU RI No. 1 tahun 1960, Peperpu No. 24 tahun 1960 dirubah menjadi UU RI No. 24 Prp tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi adalah dimana Pemerintah Republik Indonesia menganggap perlu adanya suatu peraturan perUndang-undangan yang khusus mengatur masalah korupsi.
Dalam penerapannya ternyata UU RI No. 24 Prp tahun 1960 masih belum mencapai hasil seperti yang diharapkan, sehingga akhirnya demi mencapai hasil seperti yang diharapkan UU RI No. 24 Prp tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi kemudian diganti dengan UU RI No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Setelah lebih dua dasawarsa berlaku, ternyata UU RI No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, apalagi dengan terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme yang melibatkan para penyelenggara Negara dengan para pengusaha.
Berdasarkan hal tersebut, akhirnya MPR menetapkan Tap. MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang antara lain menetapkan “agar diatur lebih lanjut dengan Undang-undang tentang upaya pemberantasan tindak pidana korupsi” yang dilakukan dengan tegas dengan melaksanakan secara konsisten Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Atas dasar Tap MPR tersebut maka ditetapkan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mulai berlaku sejak tanggal 16 Agustus 1999 yang dimuat dalam lembaran Negara tahun 1999 No. 140. Namun demikian sesuai perkembangan teknologi serta kemajuan jaman ternyata terhadap UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dikatakan tidak relevan lagi, karena ternyata para pelakunya sesuai perkembangan teknologi serta kemajuan jaman juga dalam modusnya turut menggunakan kecanggihan teknologi yang berkembang sesuai dengan perkembangan jaman sehingga akhirnya Pemerintah menganggap perlu untuk melakukan perubahan dan penambahan terhadap UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan hal tersebut akhirnya pemerintah mengeluarkan UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimuat dalam lembaran Negara No. 134 tahun 2001 dan diundangkan pada tanggal 21 November 2001.
Sedangkan alasan lain diundangkannya UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dapat dilihat dalam konsideran butir b UU RI No. 20 tahun 2001 yaitu :
1. Untuk lebih menjamin kepastian hukum ;
2. Menghindari keragaman penafsiran hukum ;
3. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak social ekonomi dan ekonomi masyarakat, serta ;
4. Perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Dengan diadakannya perubahan terhadap UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diharapkan dapat lebih mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Sedangkan definisi korupsi sendiri adalah sebagaimana dimaksud dalam UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dimana dalam peraturan tersebut korupsi menurut KPK dibagi menjadi 7 jenis terdiri dari pertama korupsi dalam kategori merugikan keuangan negara, kedua suap menyuap, ketiga penggelapan dalam jabatan, pemerasan, kelima perbuatan curang, keenam benturan kepentingan dalam pengadaan, dan ketujuh gratifikasi.

Disisi lain definisi korupsi menurut hasil dari Lebanon Anti Coruption Intiative Report yang diadakan di Lebanon oleh negara-negara anti korupsi pada tahun 1999 seperti dikemukakan oleh Direktur Penindakan KPK Brigadir Jenderal Suedi Husein, SH., dalam Pelatihan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta tanggal 5 s/d 10 Oktober 2009 adalah ” pelaku-pelaku, individu-individu swasta maupun pejabat pemerintah yang telah menyimpang dari tanggung jawab yang telah di tetapkan dengan menggunakan jabatan atau kekuasaan mereka untuk mencapai tujuan pribadi maupun kepentingan pribadi mereka” .
Menurut Pasal 1 ayat (3) UU RI No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perUndang-undangan yang mengatur tentang Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia, Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain.










B. Jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi
Kebiasaan berprilaku koruptif yang terus berlangsung di kalangan masyarakat salah satunya disebabkan karena masih kurangnya pemahaman mereka terhadap pengertian korupsi. Selama ini, kosa kata korupsi sudah populer di Indonesia. Hampir semua orang pernah mendengar kata korupsi, dari mulai masyarakat di pedalaman, mahasiswa, pegawai negeri, orang swasta, aparat penegak hukum sampai pejabat Negara. Namun jika ditanyakan kepada mereka apa itu korupsi, jenis perbuatan apa saja yang bisa dikategorikan tindak pidana korupsi? Hampir dipastikan sangat sedikit yang dapat menjawab secara benar tentang bentuk / jenis korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang .
Oleh karena itu sebelum dilakukan pembahasan sehubungan dengan implementasi pasal 4 UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi serta bagaimana kriteria kerugian keuangan Negara pada kenyataannya, ada baiknya diketahui dulu tentang bentuk / jenis korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU RI No. 31 tahun 1999).
Dalam UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi terdapat 13 pasal yang yang secara gamblang menjelaskan definisi korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dapat dirumuskan menjadi tiga puluh bentuk / jenis tindak pidana korupsi.
Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Ketiga puluh bentuk / jenis tindak pidana korupsi tersebut menurut Komisi Pemberatasan Korupsi perinciannya adalah sebagai berikut :
1. Pasal 2 ;
2. Pasal 3 ;
3. Pasal 5 ayat (1) huruf a ;
4. Pasal 5 ayat (1) huruf b ;
5. Pasal 5 ayat (2) ;
6. Pasal 6 ayat (1) huruf a ;
7. Pasal 6 ayat (1) huruf b ;
8. Pasal 6 ayat (2) ;
9. Pasal 7 ayat (1) huruf a ;
10. Pasal 7 ayat (1) huruf b ;
11. Pasal 7 ayat (1) huruf c ;
12. Pasal 7 ayat (1) huruf d ;
13. Pasal 7 ayat (2) ;
14. Pasal 8 ;
15. Pasal 9 ;
16. Pasal 10 huruf a ;
17. Pasal 10 huruf b ;
18. Pasal 10 huruf c ;
19. Pasal 11 ;
20. Pasal 12 huruf a ;
21. Pasal 12 huruf b ;
22. Pasal 12 huruf c ;
23. Pasal 12 huruf d ;
24. Pasal 12 huruf e ;
25. Pasal 12 huruf f ;
26. Pasal 12 huruf g ;
27. Pasal 12 huruf h ;
28. Pasal 12 huruf i ;
29. Pasal 12 B Jo Pasal 12 C dan ;
30. Pasal 13 ;
Dari ketiga puluh bentuk / jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 7 yaitu sebagai berikut :
1. Merugikan keuangan Negara :
- Pasal 2
- Pasal 3
2. Suap menyuap :
- Pasal 5 ayat (1) huruf a ;
- Pasal 5 ayat (1) huruf b ;
- Pasal 5 ayat (2) ;
- Pasal 6 ayat (1) huruf a ;
- Pasal 6 ayat (1) huruf b ;
- Pasal 6 ayat (2) ;
- Pasal 11 ;
- Pasal 12 huruf a ;
- Pasal 12 huruf b ;
- Pasal 12 huruf c ;
- Pasal 12 huruf d ;
- Pasal 13 ;
3. Penggelapan dalam jabatan :
- Pasal 8 ;
- Pasal 9 ;
- Pasal 10 huruf a ;
- Pasal 10 huruf b ;
- Pasal 10 huruf c ;
4. Pemerasan :
- Pasal 12 huruf e ;
- Pasal 12 huruf f ;
- Pasal 12 huruf g ;
5. Perbuatan curang :
- Pasal 7 ayat (1) huruf a ;
- Pasal 7 ayat (1) huruf b ;
- Pasal 7 ayat (1) huruf c ;
- Pasal 7 ayat (1) huruf d ;
- Pasal 12 huruf h ;
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan :
- Pasal 12 huruf i ;
7. Gratifikasi :
- Pasal 12 B Jo Pasal 12 C ;

Selain yang telah di jelaskan dalam ke-13 pasal dalam UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi, terdapat juga tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan menurut penulis tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana korupsi dalam bentuk lain selain yang dimaksud diatas.
Jenis-jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi tersebut adalah :
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi seperti di maksud dalam pasal 21 ;
2. Tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar sebagaimana pasal 22 jo pasal 28 ;
3. Bank yang tidak memberikan rekening tersangka sebagaimana Pasal 22 jo pasal 29 ;
4. Saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberikan sebagaimana Pasal 22 jo pasal 35 ;
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu sebagaimana Pasal 22 jo pasal 36 ;
6. Saksi yang membuka identitas pelapor sebagaimana Pasal 24 jo pasal 31.













C. Rumusan Pidana Korupsi menurut pasal 2 dan 3 UU RI No. 31 tahun 1999 Jo UU RI No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pidana Korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3 UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah delik (perbuatan pidana) yang meliputi perbuatan pidana materiil dan perbuatan pidana formil. Dimana hal ini di perjelas lagi dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) menyebutkan :
”bahwa yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil ’maupun’ dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila tersebut dianggap tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”.

Moeljatno menyebutkan delik sebagai ”perbuatan pidana”, sedangkan umumnya peraturan perUndang-undangan di Indonesia menyebutnya sebagai ”tindak pidana”, dan pada UU RI No. 31 tahun 1999 menyebutnya sebagai ”perbuatan melawan hukum” seperti yang tertuang dalam penjelasan pasal 2 ayat (1).
Yang dimaksud dengan delik formil (formeel delict) adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang, sedangkan yang dimaksud dengan delik materiil (meteriil delict) adalah delik yang dianggap telah selesai dengan terjadinya akibat dari tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang .
Menurut Moeljatno yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana diantaranya adalah :
a. Kelakuan dan akibat (= perbuatan) ;
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan ;
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana ;
d. Unsur melawan hukum yang obyektif ;
e. Unsur melawan hukum yang subyektif .

Dalam pembahasan ini, Moeljatno pun menekankan bahwa ”meskipun perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat melawan hukum yang subyektif” . Yang dimaksud Moeljatno disini adalah perlunya pembuktian unsur secara ”niat” terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tersangka ataupun terdakwa.
Sehubungan dengan dengan hal tersebut dalam bukunya Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi R. Wiyono mengatakan bahwa :
“Dengan dirumuskannya tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) sebagai delik formil, maka adanya kerugian keuangan Negara atau kerugian perekonomian Negara tidak harus sudah terjadi, . . . Dengan demikian, agar seseorang dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam pasal 2 ayat (1), tidak perlu adanya alat-alat bukti untuk membuktikan memang telah terjadi kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara” .


Maksudnya adalah dimana apa bila perbuatan tersebut dapat dibuktikan merupakan perbuatan melawan hukum maka tidak perlu adanya alat-alat bukti untuk membuktikan memang telah terjadi kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara. Melihat hal tersebut memang dapat dikatakan bahwa ketika perbuatan pidana tersebut selesai dilaksanakan maka seharusnya tidak perlu lagi adanya pembuktian terhadap adanya kerugian Negara. Dan yang menjadi pertanyaan apakah memang demikian, dan pasti sesuai seperti yang di inginkan oleh pembuat peraturan perUndang-undangan tersebut.
Karena sekalipun dengan dirumuskannya tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) sebagai delik formil, pada kenyataannya tetap saja secara praktek kerugian keuangan Negara tetap harus dibuktikan. Di sisi lain menurut Roeslan Saleh seperti di kutip oleh R. Wiyono bahwa “menurut ajaran melawan hukum, yang disebut melawan hukum materiil tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan hukum ‘tertulis’, tetapi juga dengan hukum ‘tidak tertulis’ ” .
Dalam kepustakaan hukum pidana terdapat 2 (dua) jenis dari ajaran sifat melawan hukum materiil yaitu :
a. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, yaitu suatu perbuatan, meskipun oleh peraturan perUndang-undangan tidak ditentukan sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud tetap merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum ;



b. Ajaran sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negative, yaitu suatu perbuatan, meskipun menurut peraturan perundang-undangan merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum .

Salah satu alasan mengapa UU RI No. 31 tahun 1999 menerapkan ajaran melawan hukum materiil seperti tersebut dalam penjelasan umumnya adalah agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara dan perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit.

D. Pengertian dan Dasar Hukum Kerugian Keuangan Negara.
Salah satu unsur terpenting dalam penanganan korupsi adalah adanya unsur Kerugian Keuangan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan keuangan Negara menurut Van Der Kemp adalah semua hak yang dapat dinilai dengan uang dan demikian pula segala sesuatu (baik berupa uang atau barang) yang dapat dijadikan milik Negara sehubungan dengan hal tersebut.
Sedangkan menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pengertian atau difinisi keuangan negara adalah :
“… semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1)”.


Dari pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara tersebut, menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, “Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi :
a. Hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman ;
b. Kewajiban Negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum Pemerintahan Negara dan membayar tagihan pihak ketiga ;
c. Penerimaan Negara ;
d. Pengeluaran Negara ;
e. Penerimaan Daerah ;
f. Pengeluaran Daerah ;
g. Kekayaan Negara / Kekayaan Daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada Perusahaan Negara / Perusahaan Daerah ;
h. Kekayaan lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan / atau kepentingan umum ;
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan Pemerintah.”

Sedangkan dalam penjelasan dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2003 ini tentang pengertian dan ruang lingkup keuangan negara menyatakan apabila dilihat dari sisi obyek yang dimaksud dengan “Keuangan Negara” meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Dari sisi subyek yang dimaksud dengan “Keuangan Negara” meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan Negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkain kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.
Dan dari sisi tujuan, “Keuangan Negara” meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Dalam Penjelasan umum UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dengan keuangan Negara adalah :
“… adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

(a) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah ;

(b) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara / Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.”



Sedangkan yang di maksud “Kerugian Negara” menurut Pasal 1 ayat (24) UU RI No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah :
“… kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik di segaja maupun lalai”.

R. Wiyono dalam bukunya Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatakan bahwa “yang dimaksud dengan “merugikan” adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan unsur “merugikan keuangan Negara” adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan Negara atau berkurangnya keuangan Negara” .
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan demikian, bahwa kerugian Negara / kerugian keuangan Negara adalah dimana apa saja yang seharusnya didapat oleh Negara baik itu berupa uang, surat berharga, barang dan yang dapat dinilai dengan uang yang nyata dan pasti jumlahnya, termasuk di dalamnya segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik itu di tingkat pusat maupun daerah namun tidak didapat atau kurang dari yang seharusnya didapat oleh Negara.



E. Perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi tanpa Kerugian Keuangan Negara.
Ada beberapa contoh kasus perkara-perkara korupsi di Kalimantan selatan contohnya, ada yang menarik perhatian berkaitan dengan korupsi, yaitu dimasa kepemimpinan Gubernur Sjahriel Darham, Pemprov. Kalsel melakukan pengadaan jasa pengerukan alur sungai Barito, dimana yang menarik perhatian disini adalah bahwa Polda Kalsel telah menyerahkan berkas perkara kasus tersebut ke Kejaksaan Ttinggi Kalsel, tapi pihak Kejati Kalsel memutuskan untuk tidak melanjutkan perkara tersebut ke tahap penuntutan dengan alasan tidak terdapat bukti kerugian Negara .
Dilain tempat dan lain waktu ada pula Putusan Hakim yang kontroversial dapat dilihat dalam putusan bebas murni oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung terhadap terdakwa tindak pidana korupsi Akbar Tanjung di tingkat kasasi pada tanggal 14 Pebruari 2004 membatalkan putusan pidana 3 tahun penjara terhadap Akbar Tanjung di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah dikuatkan di Pengadilan Tinggi Jakarta di tingkat Banding.
Beberapa pertimbangan Majelis Hakim Agung membebaskan Akbar Tanjung antara lain :
• Tidak terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi ;
• Lebih mengarah hukum administrasi ;
• Perbuatan Akbar Tanjung tidak merugikan Negara.

Sekalipun pasal 4 UU RI No. 31 Tahun 1999 telah mengamanatkan demikian (pengembalian kerugian keuangan Negara tidak menghapus pidana) dan dengan dirumuskannya tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) sebagai delik formil (maka adanya kerugian keuangan Negara atau kerugian perekonomian Negara tidak harus sudah terjadi), namun pada kenyataannya hal tersebut (tidak adanya kerugian keuangan Negara atau kerugian keuangan Negara telah dikembalikan) merupakan momok bagi penyelidik dan penyidik untuk melakukan proses pemidanaan.
Dan apabila kita lihat seluruh pasal-pasal yang terdapat dalam UU RI No. 31 tahun 1999 yang ada, memang tidak seluruh pasal tersebut mensyaratkan adanya kerugian keuangan Negara. Dimana kerugian keuangan Negara hanya di syaratkan pada pasal 2 dan pasal 3 saja. Namun demikian pasal-pasal lainnya umumnya hanya merupakan pasal penyerta dan bukan pasal pokok (kecuali pasal-pasal mengenai gratifikasi atau suap atau pasal yang dapat berdiri sendiri).
Sebagai contoh lain dalam Putusan Pengadilan Negeri Pelaihari tanggal 18 Juli 2006 No. 104/Pid.B/2006/PN.PLH yang menyatakan bahwa terdakwa Drs. MUHAMMAD BASUKI Bin KURSANI tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI” sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan primer, subsider, lebih subsider dan membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut.
Dalam hal ini tuntutan Penuntut Umum adalah primer : pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU RI No. 31/1999 sebagaimana di rubah dan di tambah dengan UU RI No. 20/2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke 1 Jo Pasal 65 KUHP, subsider : pasal 3 jo pasal 18 UU RI No. 31/1999 sebagaimana di rubah dan di tambah dengan UU RI No. 20/2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke 1 Jo Pasal 65 KUHP, lebih subsider : pasal 8 jo pasal 18 UU RI No. 31/1999 sebagaimana di rubah dan di tambah dengan UU RI No. 20/2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke 1 Jo Pasal 65 KUHP, lebih subider lagi : pasal 9 jo pasal 18 UU RI No. 31/1999 sebagaimana di rubah dan di tambah dengan UU RI No. 20/2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke 1 Jo Pasal 65 KUHP.
Dalam persidangan terungkap oleh ahli dalam hal Kerugian Negara (yang dalam hal ini oleh pihak BPKP) bahwa mengenai sangkaan kerugian Negara yang berupa tidak terbayarnya royalty batubara sebesar 6,5 % dari nilai harga batubara (yang seharusnya 13,5%, namun akibat perbuatan melawan hukum terdakwa Drs. MUHAMMAD BASUKI Bin KURSANI royalty yang dibayarkan hanya 7% saja), dikatakan oleh ahli bahwa hal tersebut merupakan pajak terhutang dan bukan kerugian negara.
Apa yang dikatakan oleh ahli BPKP dalam persidangan sebenarnya bertentangan dengan apa yang dikatakannya dalam Berita Acara Pemeriksaan di hadapan Penyidik. Pada saat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik ahli BPKP menyatakan bahwa hal tersebut (tidak terbayarnya royalty batubara sebesar 6,5 % dari nilai harga batubara yang seharusnya 13,5%, namun akibat perbuatan melawan hukum terdakwa Drs. MUHAMMAD BASUKI Bin KURSANI royalty yang dibayarkan hanya 7% saja) adalah kerugian Negara.
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Pelaihari tanggal 18 Juli 2006 No. 104/Pid.B/2006/PN.PLH yang menyatakan bahwa terdakwa Drs. MUHAMMAD BASUKI Bin KURSANI tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI” sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan primer, subsider, lebih subsider dan membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut, maka secara otomatis terhadap perkara dengan tersangka Drs. ADRIANSYAH Bin SYAHMINAN (selaku Bupati Tanah laut saat itu) yang merupakan splitzing dari perkara terdakwa Drs. MUHAMMAD BASUKI Bin KURSANI tidak dapat diajukan ke persidangan.














BAB III
MASALAH KERUGIAN KEUANGAN NEGARA MENURUT
UU RI NO. 31 TAHUN 1999 JO UU RI NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara.

Seperti telah penulis kemukakan diatas bahwa dalam upaya pemberantasan korupsi banyak kendala yang dihadapi aparatur penegak hukum. Salah satu yang menjadi polemik pada saat aparatur penegak hukum tersebut menangani perkara atau kasus Tindak Pidana Korupsi adalah dimana tidak adanya kerugian terhadap Keuangan Negara.
Menghadapi hal demikian tersebut tidak serta merta pemerintah kemudian lepas tangan, namun justru melakukan upaya-upaya perbaikan baik dari segi perUndang-undangan sampai dengan reformasi aparatur serta membuat badan independen guna pemberantasan korupsi. Sejalan dengan hal tersebut Prof. Andi Hamzah mengatakan “bagaimanapun baiknya suatu peraturan, ia (peraturan tersebut) masih akan di uji dalam praktek” . Menurut hemat penulis maksud beliau terhadap pernyataan tersebut adalah sebaik apapun aturan dibuat, baru akan berjalan sesuai dengan keinginan pembuat Undang-undang apabila aparatur yang menjalankan suatu aturan tersebut mempunyai kualitas yang baik dan di dukung dengan alat penunjang yang baik dalam pelaksanaan tugas aparatur tersebut di lapangan.
Hal senada juga dilontarkan oleh S. Anwary yaitu “bagaimanapun banyak dan baiknya suatu Peraturan PerUndang-undangan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau tindak pidana lainnya, apabila tidak disertai dengan Penegakan Hukum (law enforcement) akan menjadi lumpuh” .
Berangkat dari alasan tersebutlah kemudian pasal 4 yang termuat dalam UU RI No. 31 tahun 1999 di muat dalam peraturan perUndang-undangan tersebut. Karena dalam setiap perkembangan zaman, bahkan seiring dengan perkembangan zaman itu sendiri akan terjadi hal-hal baru (tidak terlepas dari masalah hukum khususnya Tindak Pidana Korupsi) yang kemudian suatu hal-hal baru tersebut menciptakan atau berkembang menjadi hal-hal baru lainnya. Dimana hal-hal baru tersebut akan menciptakan celah-celah hukum yang kemudian berkembang menjadi “recht vacuum” (kekosongan hukum). Dan sudah seyogyanyalah kita berwaspada dan mencari serta mengisi kemungkinan kekosongan hukum tersebut.
Salah satu wujud nyata perbuatan mengisi kemungkinan kekosongan hukum tersebut oleh pemerintah berkaitan dengan perangkat perundang-undangan korupsi adalah dengan memasukkan ketentuan seperti yang tersebut dalam pasal 4 UU RI No. 31 tahun 1999 kedalam perUndang-undangan, dimana hal tersebut sebelumnya (oleh UU RI No. 3 tahun 1971) belum tercover.
Dan berangkat dari alasan semacam itu pulalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di bentuk sebagai lembaga independen yang bebas dari pengaruh legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Salah satu alasan lainnya berkaitan dengan ketentuan seperti yang termuat dalam pasal 4 UU RI No. 31 tahun 1999 adalah sewaktu UU RI No. 3 tahun 1971 berlaku, terdapat putusan Pengadilan Tinggi Kupang tanggal 25 Maret 1992 No. 18/Pid/1992/P.T.K yang menyatakan tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima dan terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum, karena kerugian keuangan Negara / Daerah Tingkat II Sikka sebagai akibat dari perbuatan terdakwa telah dikembalikan sehingga kerugian keuangan Daerah Tingkat II Sikka sudah tidak dirugikan lagi.
Akan tetapi dalam tingkat kasasi, Putusan Pengadilan Tinggi Kupang tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI dengan Putusannya tanggal 29 Juni 1994 No. 1401 K/Pid/1992 dengan pertimbangan hukum bahwa meskipun kerugian keuangan Daerah Tingkat II Sikka sudah dikembalikan oleh terdakwa, tetapi “sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa tetap ada” dan tidak hapus serta tidak dapat dianggap sebagai alasan pembenar atau pemaaf atas kesalahan terdakwa, dan terdakwa tetap dapat dituntut sesuai hukum yang berlaku .
Jadi pada saat masa berlakunya UU RI No. 3 tahun 1971 pun dalam praktik peradilannya para praktisi hukum (aparatur Negara penegak hukum) telah menentukan bahwa pengembalian keuangan Negara tidak menghapuskan perbuatan pidananya, dan terhadap pelakunya tetap dapat dipidana, meskipun ketentuan seperti termuat dalam pasal 4 (UU RI No. 31 tahun 1999) belum ada.
Namun sekalipun demikian telah jelas seperti yang dimaksud oleh pembuat Undang-undang, dan bunyi dari Pasal 4 UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa :
“ Pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonamian Negara tidak menghapuskan pidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 “

tetap saja pada prakteknya faktor kerugian keuangan Negara atau lazimnya dalam tingkat Penyidikan para Penyidik menyebutnya sebagai Kerugian Negara merupakan faktor penentu untuk proses pemidanaannya.
Hal ini secara nyata dapat dilihat pada contoh kasus / perkara yang penulis paparkan pada sub Bab II diatas. Dimana terhadap tersangka pada masing-masing perkara mereka tidak dapat dilakukan pemidanaan karena tidak adanya kerugian Keuangan Negara.
Dalam proses penyelidikan maupun penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para penyelidik / penyidik kebanyakan atau lazimnya apa bila tanpa adanya kerugian keuangan Negara tidak akan di lanjutkan perkaranya sampai dengan proses penuntutan. Hal ini terjadi karena apabila tanpa adanya kerugian keuangan Negara atau kerugian keuangan Negara telah dikembalikan oleh pelaku tindak pidana korupsi maka itu akan mempersulit dalam hal proses pemidanaan saat penuntutan.
Hal ini karena selaku Auditor, baik auditor BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) atau BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), apabila kerugian Keuangan Negara telah dikembalikan seluruhnya / habis maka baik di dalam proses Penyidikan maupun Penuntutan (proses pemidanaannya) kerugian Keuangan Negara akan dinyatakan secara lugas dan jelas serta tegas (oleh Auditor) tidak ada, sekalipun kerugian Keuangan Negara pernah ada.
Contoh, apa yang terungkap oleh ahli BPKP di persidangan (pada kasus Drs. BASUKI Bin KURSANI selaku Kasi Perijinan Dinas Pertambangan Kab. Tala), dimana menurut penulis hal tersebut sesuai dengan pasal 186 KUHAP yaitu “keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan” , namun akibat pernyataannya (ahli BPKP) dalam sidang tersebut terhadap terdakwa tidak dapat di dakwa sesuai dengan dakwaan jaksa penuntut umum secara keseluruhan dan terhadap tersangka lain (Drs. ADRIANSYAH Bin SYAHMINAN selaku Bupati Tanah Laut) tidak dapat dilakukan proses pemidanaan sebagaimana yang disangkakan Penyidik.
Berkaitan dengan hal tersebut memang benar apabila Jaksa selaku Penuntut Umum berpegang pada ketentuan pasal 186 KUHAP, dimana kemudian berdasarkan hal tersebut akhirnya Jaksa memberikan pertunjuk kepada Penyidik Kepolisian untuk menghentikan perkara tersangka Drs. ADRIANSYAH Bin SYAHMINAN dikarenakan dengan alasan tidak terdapat cukup bukti untuk perkara tersebut sehingga layak diajukan ke persidangan.
Bukti yang dimaksud oleh Jaksa Penuntut Umum disini adalah bukti mengenai adanya kerugian Keuangan Negara. Contoh yang hampir serupa adalah pada perkara / kasus Gubernur Sjahriel Darham, Jaksa selaku Penuntut Umum berpegang pada tidak adanya kerugian Keuangan Negara pada pengadaan jasa pengerukan alur sungai Barito. Dimana Auditor menyatakan tidak ada kerugian Keuangan Negara, sekalipun unsur melawan hukum jelas terjadi.

Dan memang perlu kita pahami bahwa dalam beberapa jenis permasalahan pidana, upaya hukum pidana bukanlah merupakan sesuatu yang mutlak / harus dimana seorang pelakunya untuk di pidanakan. Dalam hal ini memang upaya pidana adalah “Ultimum remidium” atau upaya terakhir ketika upaya lain tidak dapat dilakukan.
Amanat yang diemban oleh UU RI No. 31 tahun 1999 pada dasarnya sebenarnya selain pemidanaan pelakunya adalah juga “asset tracing” (pengembaian kerugian keuangan Negara). Namun demikian sebagai efek jera memang adanya pasal 4 dalam aturan tersebut sebagai tujuan utama dalam penerapannya.
Apa yang dimaksud oleh pembuat Undang-undang dalam aturan memang terkadang tidak akan seratus persen sama dengan kenyataan pelaksanaannya, karena pada saat pelaksanaan dari pada prosesnya terkadang ada kendala-kendala yang tidak secara lugas ada pemecahannya dalam suatu peraturan perUndang-undangan. Dapat dikatakan bahwa setiap masing-masing kasus adalah kasuistis, dimana masing-masing kasus yang serupa dalam pemecahannya terkadang memiliki pola dan modus operandi yang berbeda antara satu dengan lainnya, sehingga cara mengatasi permasalahannya pun memiliki metode penanganan yang berbeda.
Melihat kenyataan diatas pendapat R. Wiyono berkenaan dengan pasal 4 UU RI No. 31 tahun 1999 menurut penulis benar adanya, dimana R. Wiyono mengatakan bahwa “ . . . ketentuan seperti yang terdapat dalam Pasal 4, khususnya mengenai pengembalian kerugian perekonomian Negara, besar kemungkinan akan menjadi ketentuan yang tidak ada artinya atau menjadi huruf mati “ .
Suatu peraturan memang hanya merupakan benda mati tanpa adanya aparatur yang menjalankannya serta menerapkannya selayak seharusnya peraturan tersebut dimaksudkan ada. Seperti ketentuan pasal 4 tersebut, memang hanya akan jadi benda mati atau tidak ada artinya tanpa adanya penerapan peraturan oleh aparaturnya.

B. Kriteria Yang Dimaksud Dengan Kerugian Keuangan Negara.
Dalam hal ini agar dapat dikatakan kerugian Negara apabila objek adalah barang milik Negara atau setidak-tidaknya yang seharusnya didapat Negara, namun bagaimana apabila terhadap objeknya tersebut hanya sebagian yang milik Negara sedangkan sebagian lain adalah milik swasta, apakah terhadap hal tersebut dapat dikategorikan sebagai kerugian Negara apa bila terjadi kerugian dalam pengelolaannya ?.
Seperti yang telah di uraikan pada sub Bab II diatas bahwa kerugian Negara / kerugian keuangan Negara adalah dimana apa yang seharusnya didapat oleh Negara baik itu berupa uang, surat berharga, barang dan dapat dinilai dengan uang yang nyata dan pasti jumlahnya termasuk di dalamnya segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah namun tidak didapat atau kurang dari yang seharusnya didapat oleh Negara.
Kemudian yang menjadi pertanyaan apakah segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara / Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara termasuk dari pada yang dimaksud dalam kategori keuangan Negara ?.
Menurut Erman Rajagukguk (guru besar Fakultas Hukum Univ. Indonesia) dalam seminar “Peran BUMN dalam mempercepat Pertumbuhan Perekonomian Negara” yang di sampaikan di Jakarta 12-13 April 2007, “dimana tidak adanya keseragaman, adanya kerancuan dan salah satu pemahaman mengenai Keuangan Negara dan Kerugian Negara telah mendatangkan ketidakpastian hukum . . .” .
Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menyatakan bahwa Perusahaan Persero, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan bahwa :
“ terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas . . . “.

BUMN yang berbentuk Perum juga adalah Badan Hukum. Pasal 35 ayat (2) UU RI No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menyatakan, Perum memperoleh status Badan Hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.
Berdasarkan pasal 7 ayat (4) UU RI No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Persero memperoleh status badan hukum pada tanggal di terbitkannya keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan (dalam hal ini Menteri yang dimaksud adalah Menteri Hukum dan HAM RI).
Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian suatu Badan Hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan Direksi (sebagai pengurus), Komisaris (sebagai pengawas), dan Pemegang Saham (sebagai pemilik).
Sebagai contoh, andaikata kita memasukkan tanah Hak Milik sendiri sebagai modal PT, Hak Milik tadi berubah menjadi HGB atau HGU atas nama PT, bukan atas nama kita lagi. Kekayaan kita hanyalah saham sebagai bukti modal yang kita setor dan sebagai pemilik perusahaan.
Dengan demikian kekayaan BUMN Persero maupun kekayaan BUMN Perum sebagai badan hukum bukanlah kekayaan negara. Dimana kekaburan pengertian Keuangan Negara dimulai oleh difinisi Keuangan Negara dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1).
Sedangkan Pasal 2 menyatakan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi, antara lain Kekayaan Negara/Kekayaan Daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.
Mahkamah Agung dalam Fatwanya menyatakan bahwa tagihan bank BUMN bukan tagihan negara karena bank BUMN Persero tunduk pada UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (yang saat ini telah diubah menjadi UU RI No. 40 tahun 2007). Dengan demikian Mahkamah Agung berpendapat kekayaan negara terpisah dari kekayaan BUMN Persero. Selanjutnya tentu keuangan BUMN Persero bukan keuangan Negara .
Dasar Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa tersebut adalah dimana Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara berbunyi:

“Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan” .

Dimana artinya dalam hal ini kekayaan dalam BUMN terpisah dari kekayaan Negara, hal ini pun kemudian lebih jelas lagi dalam pasal 4 ayat (1) UU BUMN menyatakan bahwa :
“Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan Negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat ” .

Jelas secara pengelolaan pun berbeda dengan pengelolaan APBN/APBD, dimana pembinaan / pengelolaan kekayaan BUMN/BUMD tersebut adalah didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat sebagaimana dimaksud dalam UU Perseroan terbatas, sedangkan APBN/APBD untuk pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah.
Dengan demikian menurut penulis bahwa yang berlaku disini adalah azas “lex specialist derogate legi generali”, dimana dengan adanya peraturan perUndang-undangan BUMN maka apa yang tertuang berkaitan hal serupa di dalam peraturan perundang-undangan lain harus dikesampingkan, selain itu apa yang tertuang dalam Pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 serta konsideran Dalam Penjelasan umum UU RI No. 31 tahun 1999 sehubungan yang dimaksud dengan keuangan Negara (berkaitan dengan BUMN / BUMD) menurut penulis tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.
Sulistio SH, seorang pengacara dan pengamat hukum perbankan seperti dikutip oleh Erman rajagukguk dalam tulisannya, “Fatwa MA dan Pengungkapan Korupsi BUMN” mengatakan :
“Saat ini ada beberapa direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi tersangka korupsi. Mereka didakwa telah menyalahgunakan keuangan Negara dan mengakibatkan kerugian Negara. Banyak pula persidangan direksi BUMN karena keputusannya, dalam rangka mengendalikan bisnis BUMN.

Para pejabat BUMN harus menjadi terpidana dan tersangka karena masih banyak pendapat yang menyatakan bahwa BUMN termasuk bagian kekayaan Negara. Oleh karenanya, segala keputusan direksi yang mengakibatkan kerugian BUMN, merupakan bagian dari tindak pidana korupsi. Apakah memang demikian ? ”

Adalah tidak adil, ketika ada pendapat yang menyatakan bahwa kekayaan BUMN adalah kekayaan pemerintah, namun disisi lain pemerintah tidak ikut bertanggung jawab terhadap kewajiban perseroan dan segala konsekwensinya. Sebab, sudah seharusnya jika pemegang saham juga harus ikut bertanggung jawab terhadap semua kewajiban perseroan. Dengan begitu, pemegang saham juga harus ikut pula menanggung segala konsekwensinya.
Sebenarnya ada doktrin “business judgment” yang menetapkan bahwa Direksi suatu perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, “apabila” tindakan tersebut didasarkan itikad baik dan hati-hati. Direksi mendapat perlindungan tanpa perlu memperoleh pembenaran dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan yang diambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan .
Dimana hal ini pun sebenarnya telah secara lugas diatur dalam pasal 104 ayat (4) huruf b UU RI No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan terbatas yaitu :
“anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseoan sebagaimana dimaksud ayat (2) apabila dapat membuktikan :

a. Kepailitannya tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya ;
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan ;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung, maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan, dan ;
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.

Dengan demikian, keluarnya fatwa MA sebenarnya mendudukan persoalan ini pada azas hukum yang benar. Sebab MA tidak menentukan kewajiban bagi pemegang saham untuk ikut memikul tanggung jawab atau liability.
MA sebagai “ laatstetoesteen van het recht” atau batu ujian terakhir hukum mempunyai kewajiban untuk menjaga dan menjamin adanya kepastian hukum. Bila MA tidak konsisten dengan fatwanya, sama saja menimbulkan ketidakpastian hukum di Indonesia. Jadi, wajib hukumnya bagi MA untuk konsisten dengan fatwanya .



Dalam seminarnya tersebut Erman Rajagukguk juga mengatakan bahwa :
“Fatwa hukum MA tersebut sebenarnya menjadi penegasan bahwa semua Undang-Undang (UU) yang menentukan kekayaan Negara atau kekayaan daerah yang telah dipisahkan sebagai modal BUMN, persero dan perusahaan daerah yang berbentuk PT, bukan lagi merupakan kekayaan Negara atau kekayaan daerah. Fatwa ini juga menegaskan bahwa unsur merugikan keuangan Negara –sebagai salah satu unsur pidana korupsi, tidak lagi dapat dikenakan pada BUMN serta Perusahaan Daerah.

Menurut hemat kami, fatwa MA sesuai dengan comunnis opinion doctrine dalam teori hukum universal. Maksudnya, suatu kekayaan termasuk keuangan badan hukum, adalah terpisah dari kekayaan pengurus dan pemiliknya atau pemegang saham” .

Jadi dalam hal ini apa bila melihat pembahasan diatas jelas dapat di bedakan yang mana termasuk keuangan Negara dan mana keuangan yang dipisahkan dari kekayaan Negara. Dan dari segi peraturan perUndang-undangan pun jelas telah diatur mengenai kententuan tersebut dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP dimana bunyinya :
“jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan”

atau dengan kata lain berlaku azas lex specialist derogate legi generali.







BAB IV

P E N U T U P

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian permasalahan diatas, pada bab ini penulis menarik kesimpulan yaitu :
1. Bahwa kerugian negara adalah syarat mutlak untuk suatu perkara Tindak Pidana Korupsi yang melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan 3 UU RI No. 31 tahun 1999. Dan berkaitan dengan pengembalian Kerugian Keuangan Negara pada perkara Tindak Pidana Korupsi memang pada dasarnya tidak menghapuskan pidananya, namun kenyataannya pada suatu perkara Tindak Pidana Korupsi tanpa kerugian keuangan Negara Tidak bisa dilakukan proses pemidanaan.
2. Suatu bentuk kerugian dapat di kategorikan sebagai kerugian Negara adalah apabila seperti yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (24) UU RI No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, namun tidak termasuk didalamnya atau pengecualian adalah terhadap kerugian yang derita oleh Persero BUMN / BUMD, karena berkaitan dengan itu BUMN / BUMD tuduk pada UU RI No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan UU RI No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan terbatas, atau dengan kata lain berlaku azas lex specialist derogate legi generali.


B. Saran-saran

Adapun beberapa saran yang dapat penulis kemukakan dalam skripsi ini antara lain adalah :
1. Berkaitan dengan tidak adanya Kerugian Keuangan Negara, perlu adanya peraturan perUndang-undangan yang lebih tegas dan keras yang menyatakan bahwa terhadap suatu perbuatan korupsi, sekalipun Kerugian Keuangan Negara telah dikembalikan tetap dapat dipidanakan terhadap para pelakunya dan bukan hanya sekedar pemberi efek jera yang menjadi huruf mati.
2. Sedangkan terhadap kepastian apakah suatu kerugian termasuk kerugian Negara atau bukan, agar para aparatur Negara penegak hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi dapat lebih memahami aturan perUndang-undangan dan azas-azas hukum yang berlaku serta diharapkan pihak aparatur Negara penegak hukum lebih konsisten dan konsekuen terhadap peraturan perUndang-undangan yang berlaku. Dan dalam hal ini perlu adanya perubahan beberapa ketentuan dalam beberapa Peraturan perUndang-undangan berkaitan untuk sinkronisasi agar lebih menjamin kepastian hukum.






DAFTAR PUSTAKA

Anwary, S., SH., Dr. , Quo Vadis Pemberantasan Korupsi di Indonesia, AMRA, Jakarta, 2005.

Chazawi, Adami., S.H., Drs. , Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2005.

Hamzah, Andi., S.H., Dr., Prof. , Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, jakarta, 2006.

Husein, Suedi., S.H., Brigadir Jenderal Polisi., Pelatihan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, tanggal 5 s/d 10 Oktober 2009.

Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi, KPK, 2006.

Lamintang, P.A.F. , Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar baru, Bandung, 1984.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

Murdiono, Eddy., Drs., Kombes Pol & Simanjuntak, Victor., Drs., Kombes Pol, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah, Polda Kalsel, Banjarmasin, 2007.

Rajagukguk, Erman., Prof. , Peran keuangan Negara dan Kerugian Negara yang disampaikan dalam Seminar Peran BUMN dalam mempercepat Pertumbuhan Perekonomian Negara, di Jakarta 12-13 April 2007.

Wiyono, R. , Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.