happy whidy

Selasa, 04 Januari 2011

MASALAH PENETAPAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DI KABUPATEN KOTABARU

BAB I
PENDAHULUAN

A. Alasan Memilih Judul.
Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya yang keberadaannya sebagai penyangga kehidupan yang patut untuk disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk kemakmuran rakyat.
Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi sosial budaya maupun ekonomi secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang.
Pada era tahun 1980-an Provinsi Kalimantan Selatan memiliki wilayah daratan seluas 3.753.052 Hektar, di sekitar tahun 1984 sebagian besar berupa kawasan hutan dengan luas sekitar 2.314.720,00 Hektar (SK. Menteri Kehutanan No. 247/Kpts-II/1984 tgl 18 Desember 1984) yang terdiri dari :
- Hutan Lindung : 432.736,00 hektar ;
- Hutan Wisata Alam dan Hutan Wisata : 139.315,00 hektar ;
- Hutan Produksi Terbatas : 132.957,00 hektar ;
- Hutan Produksi Tetap : 1.325.024,00 hektar ;
- Hutan Produksi yang dapat dikonversi : 284.670,00 hektar.
Untuk hutan produksi yang dapat dikonversi tersebut digunakan untuk berbagai macam penggunaan, mulai dari Pengusaha HPH, HTI sampai penggunaan oleh pihak lain (Perkebunan dan Transmigrasi). Pengusaha HPH sebanyak 16 HPH menggunakan kawasan hutan seluas 1.421.500,00 hektar.
Kondisi hutan di Indonesia sendiri adalah sebagai salah satu Negara yang memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire. Luas hutan Indonesia adalah 144 juta Hektar, yang 80 juta hektarnya adalah hutan lindung, hutan konservasi dan Konservasi hutan tropis. Adapun tingkat kerusakan hutan diperkirakan sekitar 1.314.700 hektar per-tahun. Kerusakan tersebut sebagai akibat kondisi alam berupa kebakaran dan perbuatan tidak terpuji berupa pembalakan liar, tambang liar dan lain - lain, sehingga untuk menjaga dan menjamin status, fungsi, kondisi hutan serta kawasan hutan maka dilakukan upaya perlindungan hutan.
Agar pelaksanaan pengurusan hutan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan dimana dalam hal ini masyarakat dapat berperan serta dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung, sehingga masyarakat dapat mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan.
Untuk mewujudkan upaya perlindungan hutan tersebut, Presiden Republik Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia pada tanggal 30 September 1999 telah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Dan selayaknya perintah dan perpanjangan tangan (sebagai penjabaran) Undang – undang maka berkaitan dengan hal tersebut Menteri terkait saat itu pun pada tanggal 17 Juni 1999 mengeluarkan surat keputusan yaitu Keputusan Menteri Kehutanan No. 453/Kpts-II/1999 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan Dan Perairan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan seluas 1.839.494 (satu juta delapan ratus tiga puluh sembilan ribu empat ratus sembilan puluh empat) hektar. Sebagai mana dijelaskan diatas, Keputusan Menteri Kehutanan ini pada dasarnya merupakan penjabaran dari UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang diputuskan berdasarkan hasil padu serasi antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Kalimantan Selatan.
Sejalan dengan otonomi daerah, pada tanggal 13 Maret 2002 di Kabupaten Kotabaru telah mengeluarkan Peraturan Daerah, yaitu Peraturan Daerah No. 3 tahun 2002 tentang Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kotabaru (RTRWK) dan Perda Kab. Tanah Bumbu nomor 29 tahun 2005 tentang RTRWK. Dimana dalam Peraturan Daerah tersebut pada intinya berisi pengaturan yang merubah kawasan hutan produksi terbatas yang telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan, dirubah menjadi kawasan budidaya tanaman tahunan perkebunan.
Hal ini yang dianggap sebagai akar dari permasalahan khususnya dalam bidang pertambangan batubara dalam kawasan hutan yang tanpa dilengkapi izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan, karena dalam hal ini bagi para pelaku pertambangan batubara berdasarkan Peraturan Daerah No. 3 tahun 2002 tersebut, mereka menganggap bahwa kawasan pertambangannya bukan merupakan kawasan hutan sehingga dalam melakukan kegiatan pertambangan batubara tersebut tidak perlu izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU RI No. 41 tahun 1999.
Terlebih lagi apabila para pelaku pertambangan telah mendapatkan rekomendasi dari Dinas Kehutanan Kab. Kotabaru, Dinas Pertambangan Kab. Kotabaru dan Bappeda Kab. Kotabaru yang menyatakan bahwa lokasi tambang yang dimana dilakukan aktifitas pertambangan oleh perusahaan tersebut dengan berpegang / berpedoman pada Peraturan Daerah No. 3 tahun 2002, bukan merupakan kawasan hutan melainkan kawasan budi daya tanaman tahunan perkebunan, para pelaku pertambangan dengan optimal memanfaatkan hal tersebut semata demi kepentingan mereka. Yang dimana sebenarnya baik secara sadar maupun tidak mereka mengetahui adanya konflik norma berkaitan dengan hal itu.
Dengan demikian dengan adanya konflik norma tersebut, antara Keputusan Menteri Kehutanan dengan Peraturan daerah yang berkenaan dengan objek yang sama tentang pengaturan daerah kawasan hutan di Kabupaten Kotabaru sering kali dimanfaatkan oleh para oknum pelaku pertambangan untuk melindungi kegiatan pertambangan mereka yang sebenarnya “illegal”. Oleh karena terjadinya tarik menarik antara kepentingan Pemerintah Pusat (Menteri Kehutanan) dengan Pemerintah daerah (Pemkab Kotabaru) yang berkenaan dengan suatu objek yang sama yaitu berkaitan dengan “kawasan hutan” yang erat hubungannya dengan penataan ruang dan aturan yang mengaturnya tersebutlah yang merupakan celah bagi para oknum pertambangan tersebut untuk mendukung kegiatan pertambangan yang mereka lakukan.
Memang antara politik dan hukum memiliki suatu yang saling membutuhkan dan mendukung antara satu dengan lainnya atau lebih dikenal dalam dunia keilmuan dengan “simbiosis mutualisme” atau saling ketergantungan, namun kenyataan atau fakta yang terlihat unsur “kepentingan” lebih dominan daripada unsur lainnya, sekalipun unsur kepentingan bukan termasuk bagian dari masing – masing faktor dalam hal tersebut.
Pada satu sisi pemerintah daerah merasa berkepentingan untuk mengatur hal tersebut, di sisi lain pemerintah pusat belum menetapkan secara aturan berkaitan dengan hal tersebut. Dan karena adanya kekosongan hukum tersebut menjadikan celah bagi sebagian orang untuk mengeruk keuntungan demi kepentingan pribadinya tanpa harus memikirkan akibat yang ditanggung oleh suatu pihak lain.
Karena dalam setiap perkembangan zaman, bahkan seiring dengan perkembangan zaman itu sendiri akan terjadi hal-hal baru, yang kemudian suatu hal-hal baru tersebut menciptakan atau berkembang menjadi hal-hal baru lainnya. Dimana hal-hal baru tersebut akan menciptakan celah – celah hukum yang kemudian berkembang menjadi “recht vacuum” (kekosongan hukum). Dan sudah seyogyanyalah kita berwaspada dan mencari serta mengisi kemungkinan kekosongan hukum tersebut.
Berkaitan dengan adanya konflik norma seperti yang telah penulis jelaskan tersebut diatas, yang muaranya pada kenyataannya menimbulkan suatu perbuatan melawan hukum dari kegiatan pertambangan batubara yang dilakukan oleh suatu badan hukum, sehingga hal tersebut merupakan suatu permasalahan hukum yang menurut penulis harus diteliti.
Sehubungan dengan adanya suatu permasalahan hukum tersebut maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan ini ke dalam sebuah skripsi yang diberi judul “ MASALAH PENETAPAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DI KABUPATEN KOTABARU “.






B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari pada penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejauh mana masalah konflik norma berkaitan dengan penetapan kawasan hutan di Kabupaten Kotabaru dalam kenyataannya.
2. Untuk mengetahui mengenai kedudukan Keputusan Menteri terhadap Peraturan Daerah.
Sedangkan kegunaan penelitian dalam rangka penulisan skripsi ini adalah :
1. Sebagai bahan informasi ilmu pengetahuan hukum bagi masyarakat luas serta secara teoritis penelitian ini dapat memperkaya khazanah ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya, dalam mempelajari dan memahami tentang peraturan perundang-undangan terkait dengan Kehutanan.
2. Sebagai bahan masukan sekaligus juga sebagai bahan sumbangan pemikiran bagi masyarakat umum khususnya bagi aparat penegak hukum dalam menangani dan menyelesaikan masalah-masalah yang berkenaan dengan pemberantasan tindak pidana Kehutanan.




C. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas, maka penulis membatasinya hanya dengan membicarakan mengenai :
1. Sejauh mana masalah konflik norma berkaitan dengan penetapan kawasan hutan di Kabupaten Kotabaru ?
2. Bagaimanakah kedudukan Keputusan Menteri terhadap Peraturan Daerah dalam kenyataannya ?
D. Metode dan Teknik Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yaitu penelitian doktrinal atau penelitian studi dokumen yang ditujukan pada peraturan - peraturan yang tertulis atau bahan - bahan hukum lainnya dengan mengkaji peraturan perundang - undangan terkait dengan isu hukum yang dibahas.
Adapun metode penelitian ini terdiri dari :
1. Tipe Penelitian :
Tipe penelitian hukum normatif ini ditujukan terhadap singkronisasi peraturan perundang - undangan secara vertikal (beda derajat) yang didasarkan atas hierarki suatu peraturan perundang - undangan yang mempunyai hubungan fungsional.


2. Pendekatan :
Pendekatan yang dilakukan dalam melakukan pemecahan masalah yang timbul dilakukan dengan cara Deskriftif (deskriftif research) yang bertujuan menggambarkan sesuatu hal, bersifat memafarkan dan bertujuan memperoleh gambaran lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku ditempat tertentu dan pada saat tertentu atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.
3. Langkah – langkah :
a. Pengumpulan bahan hukum :
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan yang meliputi sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder. Ada 2 cara yang digunakan dalam teknik pengumpulan bahan hukum dengan studi ini yaitu dengan sistem kartu dan sistem buku.
b. Sumber bahan hukum
Bahan Hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer dan sekunder
1) Bahan Hukum Primer yaitu yang berupa ketentuan hukum dan perundang-undangan yang mengikat serta berkaitan dengan penelitian ini terdiri dari :
- Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ;
- UU RI No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok Kehutanan ;
- UU RI No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok Pertambangan ;
- UU RI No. 4 tahun 1999 tentang Kehutanan ;
- UU RI No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ;
- UU RI No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan ;
- UU RI No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ;
- UU RI No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ;
- Keputusan Menteri Kehutanan No. 453/Kpts-II/1999 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan Dan Perairan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan seluas 1.839.494 (satu juta delapan ratus tiga puluh sembilan ribu empat ratus sembilan puluh empat) Hektar.
- Keputusan Menteri Kehutanan No. 338/Kpts-II/1990 tentang Penugasan sekretaris jenderal departemen kehutanan untuk dan atas nama menteri kehutanan menandatangani surat - surat pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan.
- Keputusan Menteri Kehutanan No. 1453/K/29/MEM/2000 tentang Pedoman teknis penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang pertambangan umum.
- Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 1970 tentang Perencanaan hutan.
- Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
- Peraturan Daerah No. 3 tahun 2002 tentang Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kotabaru (RTRWK).

2) Sedangkan untuk Bahan Hukum Sekunder yaitu yang berupa bahan hukum yang beorientasi sepenuhnya kepada literatur – literatur atau tulisan – tulisan serta buku – buku, bacaan lainnya yang berhubungan dengan permasalahannya yang relevan dengan pokok bahasan diantaranya adalah :
- Catatan akhir tahun lingkungan hidup kalimantan selatan 2009 Walhi Kalsel, penulis WALHI ;
- Hukum Acara Pidana Indonesia, penerbit Sinar Grafika jakarta, penulis Prof., Dr., Andi Hamzah S.H. ;
- Hukum Pertambangan di Indonesia, penerbit Rajawali Pers jakarta, penulis H. Salim, HS., S.H., M.S. ;
- Hukum Tata Negara, penerbit Sekolah tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam Banjarmasin, penulis Nikmah Fitria, S.H., M.Hum. ;
- Kajian Yuridis kedudukan perda dan Kepmen dalam perkara penambangan dalam Kawasan Hutan di Prop. Kalsel, penulis Direktorat V/ Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Jakarta ;
- Rangkuman Intisari ilmu Hukum, penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, penulis H. Riduan Syahrani, S.H. ;
- Quo Vadis Pemberantasan Korupsi di Indonesia, penerbit AMRA, Jakarta, penulis Dr., S. Anwary, SH.
Setelah semua bahan dari berbagai literatur serta bahan pustaka lainnya terkumpul, bahan-bahan hukum tersebut kemudian diolah melalui tahap pemeriksaan, penandaan, penyusunan, sistematisasi berdasarkan permasalahan yang dibahas. Bahan hukum yang sudah diolah tersebut kemudian dianalisis berdasarkan hal-hal yang bersifat umum (deduksi) lalu kemudian dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat khusus (induksi) sehingga diperoleh informasi yng sebenarnya untuk selanjutnya disusun secara sistematik.
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini dibagi ke dalam 4 (empat) bab pembahasan yang secara garis besarnya dapat dikemukakan sebagai berikut :
Bab I merupakan Pendahuluan yang berisikan alasan pemilihan judul, tujuan dan kegunaan penulisan, perumusan dan pembatasan masalah, metode dan teknik penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II merupakan Landasan Teoritis dan Yuridis tentang Kawasan Hutan, yang mengenai tentang Pengertian dan Dasar Hukum Kawasan Hutan, jenis-jenis Kawasan Hutan, Rumusan tentang Kawasan Hutan menurut UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, serta wewenang dalam penentuan kawasan Hutan.
Bab III merupakan masalah konflik norma berkaitan dengan penetapan kawasan hutan di Kabupaten Kotabaru, dan mengenai bagaimanakah kedudukan Keputusan Menteri terhadap Peraturan Daerah dalam kenyataannya atau masalah hierarkie perUndang - undangan.
Bab IV merupakan penutup yang berisikan beberapa kesimpulan dan saran terhadap pokok masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

BAB II
LANDASAN TEORITIS DAN YURIDIS
KAWASAN HUTAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Kawasan Hutan.
1. Pengertian Kawasan Hutan.
Kalimantan Selatan yang memiliki luas wilayah 3.751.687 hektar. Pola tata ruang di Kalimantan Selatan berdasarkan SK Menhut 435/2009 meliputi Hutan Lindung 526.425 hektar, hutan produksi 762.188 hektar hutan produksi terbatas 126.660 hektar, hutan produksi yang dapat di konversi 151.424 hektar, Hutan Suaka Alam dan hutan Wisata 213.285 hektar. Dari sekian luasan Kalimantan Selatan dan pola tata ruang yang sudah diatur terdapat kawasan HPH sebesar 261.966,67 hektar, ijin konsesi HTI seluas 383.683,46 hektar. Kawasan pertambangan sementara ini terdata yang sudah melakukan ekploitasi seluas 658.742,88 hektar, ini belum ditambah dari beberapa KP dan PKP2B yang sudah mengkapling daerah yang akan ditambang. Belum lagi konversi perkebunan sawit skala besar sebesar 360.833 dari realisasi rencana yang mencapai 700 ribu hektar. Dilihat dari luas peruntukan untuk HPH, HTI, perkebunan skala besar dan Pertambangan saja luasnya mencapai 3.145.649 hektar. Luasan tersebut hampir sama dengan luas wilayah Kalimantan Selatan. Argumentasi yang logis untuk menelaah kondisi ini adalah “telah terjadi tumpang tindih lahan” dari tata guna hutan kesepakatan, sehinga akan sulit sekali melakukan pengelolaan yang berkelanjutan .
Apabila berbicara tentang hutan, maka tak akan terlepas dari UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dimana dalam pasal 1 ayat (2) perturan tersebut mendefinsikan hutan sebagai
“ . . . kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan “.

Dengan demikian sumber daya hutan tidak dilihat sebagai sekumpulan komoditi tetapi juga ekosistem yang unsur-unsurnya saling terkait.
Sedangkan yang dimaksud dengan kawasan hutan adalah sebagaimana dalam pasal 1 ayat 3 UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dimana pada diktum umum Penjelasan UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan juga dikatakan bahwa :
“ Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Untuk menjaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan selain mengembalikan kualitas hutan juga meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga peran serta masyarakat merupakan inti keberhasilannya. Kesesuaian ketiga fungsi tersebut sangat dinamis dan yang paling penting adalah agar dalam pemanfaatannya harus tetap sinergi. Untuk menjaga kualitas lingkungan maka di dalam pemanfaatan hutan sejauh mungkin dihindari terjadinya konversi dari hutan alam yang masih produktif menjadi hutan tanaman “.

Memang di dalam pasal – pasal UU RI No. 41 tahun 1999 sendiri tidak menjabarkan apa yang dimaksud dengan apa itu “kawasan hutan”. Namun apa yang dimaksud kawasan adalah seperti apa yang dimaksud dalam pasal 1 angka 6 UU RI No. 24 tahun 1992 tentang Penataan ruang yaitu “ . . .wilayah dengan fungsi utama lindung dan budi daya”. Sedangkan apa yang dimaksud hutan adalah sebagaimana dalam pasal 1 angka 2 UU RI No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan yaitu “ . . . adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”.
Jadi menurut penulis apa yang dimaksud dengan kawasan hutan adalah
“ Suatu wilayah dengan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan yang dengan dengan fungsi utama lindung dan budi daya ”.

2. Dasar Hukum Kawasan Hutan.
Apabila berbicara mengenai ”kawasan”, maka dalam hal ini erat kaitannya dengan tata ruang. Sedangkan peraturan perundang – undangan yang mengatur berkaitan dengan kawasan hutan beberapa yang dibahas dalam skripsi ini diantaranya adalah :

- Undang - Undang No 5 tahun 1967 tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok Kehutanan
- Undang - Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
- Undang - Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- Undang - Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
- Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 1970 tentang Perencanaan hutan.
- Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
- Peraturan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2008 tanggal 10 Juli 2008 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
- Peraturan Daerah No. 3 tahun 2002 tentang Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kotabaru (RTRWK).

- Keputusan Menteri Kehutanan No. 453/Kpts-II/1999 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan Dan Perairan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan seluas 1.839.494 (satu juta delapan ratus tiga puluh sembilan ribu empat ratus sembilan puluh empat) Hektar.
- Keputusan Menteri Kehutanan No. 338/Kpts-II/1990 tentang Penugasan sekretaris jenderal departemen kehutanan untuk dan atas nama menteri kehutanan menandatangani surat - surat pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan.
- Keputusan Menteri Kehutanan No. 1453/K/29/MEM/2000 tentang Pedoman teknis penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang pertambangan umum.

B. Jenis – jenis Kawasan Hutan

Dalam pasal 1 UU RI No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan di klasifikasikan kawasan hutan menjadi beberapa jenis diantaranya yaitu :
1. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan (Pasal 1 angka 7) ;


2. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah (Pasal 1 angka 8);
3. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (Pasal 1 angka 9) ;
4. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan (Pasal 1 angka 10);
5. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 1 angka 11);
6. Taman buru adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu (Pasal 1 angka 12).

C. Rumusan Kawasan Hutan menurut UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Sebagaimana penulis kemukakan diatas, bahwa dalam peraturan perundang – undangan di Indonesia dan dalam literatur – literatur mengenai hal yang senada juga sangat sedikit yang mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ”kawasan hutan”.
Namun demikian memang harus diakui antara masing – masing perundang – undangan yang yang terkait membahas permasalahan yang hampir sama (masalah ”kawasan” dan masalah ”hutan”), dimana terhadap keterkaitan tersebut sangat erat kaitannya yang tak dapat di pisahkan karena adanya kesinambungan antara peraturan perundang – undangan yang satu dengan yang lainnya.
Sebagaimana telah diulas di sub bab II (huruf B) diatas bahwa dalam UU RI No. 41 tahun 1999 telam membagi / mengelompokkan kawasan hutan dalam beberapa kategori atau jenis. Dalam pembagian yang menjadi enam jenis atau kategori kawasan hutan tersebut juga terdapat satu kawasan lagi yang di bahas pada peraturan perundang – undangan lainnya berkaitan dengan hal yang sama.
“Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan”.

Dimana hal tersebut diatas disebutkan dalam pasal 1 angka 9 UU RI No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sedangkan secara utuh yang berkaitan dengan hutan pendefinisiannya dibahas dalam pasal 1 angka 1 sampai dengan angka 13 yaitu :
1. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
4. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
5. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
6. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
7. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
8. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
9. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
10. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
11. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
12. Taman buru adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu.
13. Hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.


D. Wewenang dalam penentuan kawasan hutan.
Seperti telah penulis kemukakan diatas bahwa dalam upaya pemberantasan tindak pidana berkaitan dengan kawasan hutan banyak kendala yang dihadapi aparatur penegak hukum. Salah satu yang menjadi polemik pada saat aparatur penegak hukum tersebut menangani perkara atau kasus tindak pidana berkaitan dengan kawasan hutan adalah dimana terjadi tumpang tindih kewenangan dalam penentuan kawasan hutan.
Menghadapi hal demikian tersebut tidak serta merta penyidik / peyelidik Polri sebagai unjung / mata tombak penegakan hukum pidana kemudian lepas / cuci tangan, namun justru melakukan upaya – upaya penyelidikan dan penyidikan lebih mendalam baik mencari dan menggali dari segi perUndang-undangan sampai dengan melakukan upaya penyidikan lainnya dengan mengambil keterangan (yang dituangkan dalam berita acara) dari para ahli / pakar hukum terkait serta upaya hukum lainnya yang tidak bertentangan dengan suatu peraturan perundang – undangan.
Namun demikian dalam hal ini berkaitan dengan siapa yang berwenang untuk menentukan yang mana menjadi kawasan hutan sampai saat ini masih menjadi polemik / permsalahan yang merupakan ”debat tebel” antara para aparatur Negara penegak hukum, walaupun secara tersurat aturan telah jelas mengatur hal tersebut dalam peraturan perundang – undangan.
Dalam pasal 4 ayat (2) undang – undang RI No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan di sebutkan bahwa :
“Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk :
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan ;
b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan ; dan
c. mengatur dan menetapkan hubungan – hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
(cetak tebal dari penulis)

Sedangkan dalam penjelasan pasalnya dijelaskan sebagai berikut :
“Yang dimaksud dengan wilayah tertentu adalah wilayah bukan kawasan hutan, yang dapat berupa hutan atau bukan hutan”.

Dan pada pasal 5 ayat (3) dalam UU yang sama dijelaskan bahwa :
“Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”
(cetak tebal dari penulis)

Dimana pada pasal 5 ayat (1) dijelaskan bahwa :

“Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari :
a. Hutan negara, dan
b. Hutan hak”.

Sedangkan dalam pasal 1 angka 14 pada UU tersebut juga ditetapkan bahwa “Pemerintah adalah pemerintah pusat“ . Jadi jelas disini yang dimaksud pemerintah adalah Pemerintah pusat dan bukan Pemerintah daerah. Menurut penulis pada pasal 1 angka 14 tidak perlu lagi penafsiran seperti beberapa pasal lainnya yang terdapat dalam UU No. 41 tahun 1999.
Sebenarnya berkenaan dengan hal tersebutpun tertuang dalam pasal 2 ayat (3) dan dengan bunyi yang hampir sama dalam pasal 10 ayat (1) UU RI No. 32 tahun 2003 tentang otonomi daerah, dimana dalam aturan tersebut mengatakan bahwa “pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah . . .”.
Dan sebagaimana tertuang pada pasal 7 ayat (4) disebutkan bahwa :
“ jenis peraturan perundang – undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi. (cetak tebal dari penuis)”

Dan pada penjelasan pasal 7 ayat (4) tersebut juga dijelaskan bahwa :
“jenis peraturan perundang – undangan selain dalam ketentuan ini antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh MPR DAN DPR, DPD, MA, MK, BPK, BI, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat, yang dibentuk oleh undang – undang, DPRD Propinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten / kota, Bupati / walikota, kepala desa, atau yang setingkat.”

Dan sebagai perpanjangan tangan sesuai amanat dari Undang – undang, maka Menteri Kehutanan melalui surat KEPMENHUTBUN Nomor : 453/Kpts-II/!999 tanggal 17 Juni 1999 tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di wilayah Propinsi Kalimantan selatan. Jadi jelas bahwa salah satu dasar dikeluarkannya KEPMENHUTBUN Nomor : 453/Kpts-II/!999 tanggal 17 Juni 1999 tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di wilayah Propinsi Kalimantan selatan adalah diantaranya pasal – pasal dalam UU RI No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan.



E. Hirarkie perundang - undangan.
Apabila kita cermati sebenarnya ada beberapa prinsip dasar dari peraturan perUndang undangan yang dapat kita kelompokkan menjadi beberapa kelompok prinsip yang terdiri dari lima asas:
1. Asas Tingkatan Hirarki
Dimana dalam hal ini isi yang terkandung dalam suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan isi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingakatan atau derajatnya. Asas tingkatan hirarki ini dapat diperinci lagi menjadi :
a. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak dapat mengubah atau mengesampingkan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tetapi sebaliknya boleh ;
b. Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah, atau ditambah oleh atau dengan peraturan perUndang – undangan yang sederajat atau lebih tinggi tingkatannya ;
c. Ketentuan peraturan perUndang – undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila isinya bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya ;
d. Materi yang seharusnya diatur oleh peraturan perUndang – undangan yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh peraturan perUndang – undangan yang lebih rendah tingkatannya.
e.
2. Asas Tidak Dapat Diganggu Gugat
Pada awalnya asas ini hanya berlaku untuk Undang-undang (UU), tetapi dalam perkembangannya sudah dapat diperluas dan berlaku untuk peraturan perUndang – undangan di bawah UU, khususnya Peraturan Daerah. Asas ini terkait dengan penentuan luas ruang lingkup materi muatan UU yang menurut para ahli pada umumnya, dalam arti “formele wet” materi muatan UU tidak dapat ditentukan lingkup materinya mengingat UU merupakan perwujudan kedaulatan rakyat, dimana kedaulatan bersifat mutlak, ke dalam, tertinggi di atas segalanya dan keluar tidak tergantung pada siapa pun. Namun demikian, sebagaimana sudah di praktekkan oleh berbagai Negara, termasuk Indonesia, setiap peraturan perUndang – undangan mempunyai materi muatan sesuai dengan tingkatannya. Perkembangan tersebut terkait dengan adanya hak menguji, yang dibedakan menjadi dua :
a. Hak menguji secara material, dimana dalam hal ini yang dimaksud adalah menguji isi, apakah bertentangan atau tidak dengan peraturan perUndang - undangan yang lebih tinggi, dan ;
b. Hak menguji secara formal, yaitu dalam hal ini menguji prosedur, apakah semua formalitas atau tata cara pembentukannya sudah dipenuhi atau tidak.
3. Asas Ketentuan yang khusus mengesampingkan ketentuan yang umum.
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sudah lazim di gunakan adanya peraturan perUndang – undangan yang berlaku secara umum dan ada pula yang berlaku dan mengatur hal-hal yang bersifat khusus. Kekhususan tersebut adalah karena sifat hakikat dari masalah / persoalan dan atau karena kepentingan yang hendak diatur oleh suatu peraturan perUndang - undangan. Disamping itu, untuk hal-hal yang terkait dengan kawasan hutan.

4. Asas ketentuan tidak berlaku surut.
Pada dasarnya setiap aturan dibentuk atau dibuat untuk mengatur perbuatan hukum atau perilaku di masa yang akan datang. Tidak ada aturan yang dibuat untuk mengatur perbuatan hukum atau perilaku pada masa lalu, sebab jika demikian, tidak akan terwujud apa yang di istilahkan dengan kepastian hukum. Asas “non retroaktif” terkait dengan waktu kejadian suatu peristiwa.
5. Asas ketentuan yang baru mengesampingkan ketentuan yang lama.
Apabila ada suatu masalah yang diatur dalam sauatu peraturan perUndang - undangan, kemudian hal tersebut juga diatur dalam suatu peraturan perUndang – undangan yang kemudian / baru, maka terhadap apa yang di atura dalam perUndang – undangan yang lama tidak berlaku. Asas ini berlaku apabila masalah yang sama yang diatur terdapat perbedaan, baik mengenai maksud, tujuan, maupun maknanya. Namun demikian, asas ini tidak berlaku mutlak untuk keseluruhan aturan perUndang – undangan tersebut karena yang tidak berlaku bisa hanya dalam hal yang diatur tersebut adalah pokok permasalahan yang sama.
Pada dasarnya aturan perundang – undangan yang ada di Indonesia saat ini adalah karena berlakunya azas “konkordansi” , berkaitan dengan hal tersebut Riduan syahrani menjelaskan perbandingan kedudukan dan tingkatan peraturan perundang – undangan di negeri Belanda, saat Hindia Belanda dan di Indonesia saat ini dalam tabel :
Di Negeri Belanda Di Hindia Belanda Di Negara RI
1




2




3




4 Groun wet.




Wet dibuat Mahkota Belanda bersama Parlemen (Staten general).

Aglemene Maatre-gelen van Bestur Dibuat Mahkota Belanda sendiri.

Koninklijk Besluit
Penetapan Ratu Belanda. 1




2




3




4 -------------------------------
Regeerings Reglement (RR) RR Lama -->IS (indische Staatsregeling)

Ordonnantie dibuat Gub. Jenderal Hindia Belanda bersama Volks raad (DPR Hindia Belanda).

Regerings Verordering Di buat Gub. Jend. Hindia Belanda.


Guverments Besluit Penetapan Gub. Jend. Hindia Belanda. 1




2




3




4 Undang-undang Dasar 1945



Undang-undang Presiden dengan persetujuan DPR.


Peraturan Pemerintah Dibuat Presiden.


Keputusan Presiden.

Dan sesuai dengan pasal 7 ayat (1) UU RI No. 10 tahun 2004, tata urutan perundang – undangan adalah sebagai berikut :
1) UUD 1945 ;
2) UU / Perpu ;
3) Peraturan Pemerintah ;
4) Peraturan Presiden ;
5) Peraturan Daerah.

Namun demikian bagaimana dengan aturan yang dikeluarkan oleh setingkat menteri, dari hal tersebut para pembuat aturan perundang – undangan telah mencover melalui penjelasan pasal 7 ayat (4) secara jelas yaitu :

“jenis peraturan perundang – undangan selain dalam ketentuan ini antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh MPR DAN DPR, DPD, MA, MK, BPK, BI, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat, yang dibentuk oleh undang – undang, DPRD Propinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten / kota, Bupati / walikota, kepala desa, atau yang setingkat.”

Dan dalam bukunya rangkuman intisari ilmu hukum Riduan Syahrani juga menjabarkan secara jelas mengenai akibat dari tingkatan serta perbedaan klasifikasi suatu aturan perundang – undangan juga menimbulkan akibat – akibat diantaranya :
a. Peraturan perUndang – undangan yang lebih tinggi tidak dapat diubah atau dihapuskan oleh peraturan perUndang – undangan yang lebih rendah, tetapi sebaliknya dimungkinkan ;

b. Hal – hal yang harus diatur dengan suatu bentuk peraturan perundang – undangan tertentu, tidak mungkin diatur dengan suatu bentuk peraturan perUndang – undangan yang lebih rendah, sedangkan sebaliknya dimungkinkan ;

c. Isi peraturan perUndang – undangan yang kedudukannya lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perUdang undangan yang kedudukannya lebih tinggi. Keadaan sebaliknya memungkinkan dan bilamana itu terjadi, maka peraturan perUndang – undangan yang lebih rendah menjadi batal ;
d. Peraturan perUndang – undangan yang kedudukannya lebih rendah dapat merupakan pelaksananan dari peraturan perUndang – undangan yang kedudukannya lebih tinggi. Sedangkan sebaliknya tidak mungkin .

Dalam hal ini aturan yang dibuat oleh menteri kehutanan yang berupa Keputusan Menteri Kehutanan melalui surat KEPMENHUTBUN Nomor : 453/Kpts-II/!999 tanggal 17 Juni 1999 tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di wilayah Propinsi Kalimantan selatan tersebut memang diperintahkan oleh aturan yang lebih tinggi dari aturan Perda tersebut, karena dalam hal ini keputusan menteri tersebut merupakan perpanjangan tangan atau penjabaran dari UU RI No. 41 tahun 1999.
Artinya dimana sepanjang aturan yang dikeluarkan oleh setingkat menteri tersebut merupakan amanat / perintah dari suatu Undang – undang maka sudah barang tentu aturan tersebut mempunyai kedudukan lebih tinggi setingkat dari peraturan daerah, dan sebagai aturan yang kedudukannya lebih tinggi sudah pasti mempunyai akibat sebagaimana dijelaskan diatas.














BAB III
MASALAH TINDAK PIDANA DALAM KAWASAN HUTAN
DI KABUPATEN KOTABARU

A. Masalah konflik norma berkaitan dengan penetapan kawasan hutan di Kabupaten Kotabaru.

Sejalan dengan hal tersebut Prof. Andi Hamzah mengatakan “bagaimanapun baiknya suatu peraturan, ia (peraturan tersebut) masih akan di uji dalam praktek” . Menurut hemat penulis maksud beliau terhadap pernyataan tersebut adalah sebaik apapun aturan dibuat, baru akan berjalan sesuai dengan keinginan pembuat Undang-undang apabila aparatur yang menjalankan suatu aturan tersebut mempunyai kualitas yang baik dan di dukung dengan alat penunjang yang baik dalam pelaksanaan tugas aparatur tersebut di lapangan.
Hal senada juga dilontarkan oleh S. Anwary yaitu “bagaimanapun banyak dan baiknya suatu Peraturan PerUndang-undang -an tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau tindak pidana lainnya, apabila tidak disertai dengan Penegakan Hukum (law enforcement) akan menjadi lumpuh” .
Oleh karena itu dari sinilah kelihatan pembuktian dari teori yang diberikan oleh Mahfud sabagaimana dikutip oleh Nikmah fitria, SH, M.Hum yaitu :
“ . . . berbicara tentang hubungan kasualitas antara hukum dan politik atau menjawab pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik atau sebaliknya, maka paling tidak ada tiga jawaban yaitu :
Pertama, hukum determinan atas politik, dalam artian bahwa kegiatan – kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan – aturan hukum.
Kedua, politik determinan atas hukum, dalam artian hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak – kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaing.
Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum itu ada, maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan hukum”

Dalam hal ini jelas sekali kelihatan bahwa tetap saja pada prakteknya faktor kepentingan merupakan faktor penentu untuk suatu proses hukum, disisi lain faktor kepentingan berkaitan erat sekali dengan faktor kebijakan – kebijakan yang menguntungkan sebagian pihak tertentu.
Hal ini secara nyata dapat dilihat pada kasus / perkara yang ditangani oleh Polda Kalsel, selaku Direktur Utama PT. BCMP tersangka AMIR H. NASRUDIN telah melakukan perbuatan mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan atau melakukan kegiatan pertambangan batubara dalam kawasan hutan tanpa ijin Menteri kehutanan, dimana dalam kegiatan pertambangan tersebut, PT. BCMP membangun sejumlah fasilitas berupa infrastruktur / sarana dan prasarana untuk penambangan diantaranya jalan, camp, pelsus, kantor dan lain – lain.
Kegiatan pertambangan tersebut dilakukan di Desa Serongga Kec. Kelumpang Hilir Kab. Kotabaru, dimana lokasi penambangan tersebut adalah merupakan kawasan Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Tanaman Industri. Dan perlu diketahui, dalam melakukan aktifitas pertambangan tersebut PT. BCMP berpegang pada Perda no. 3 tahun 2002 tentang revisi Rencana tata ruang wilayah Kab. Kotabaru.
Dalam hal ini berkaitan dengan kawasan hutan menjadi rancu penerapannya pada suatu permasalahan yang berkaitan dengan hal tersebut, menurut penulis hal tersebut lebih di karenakan dalam penerapannya pihak yang berkepentingan akan menerapkan aturan berkaitan dengan kepentingan mereka kepada aturan yang lebih menguntungkan.
Begitu juga dengan adanya aturan berkaitan dengan pinjam pakai lahan / kawasan hutan tersebut, dimana yang jadi pertanyaan mengapa PT. BCMP tidak melakukan prosedur sebagaimana yang diamanatkan UU RI No. 41 tahun 1999 adalah lebih di karenakan PT. BCMP sebagai pihak yang berkepentingan menerapkan aturan berkaitan dengan kepentingan mereka kepada aturan yang lebih menguntungkan PT. BCMP.
Dalam proses penyelidikan maupun penyidikan tindak pidana berkaitan dengan kawasan hutan yang dilakukan oleh para penyelidik / penyidik kebanyakan atau lazimnya apa bila menemui permasalahan tersebut kemungkinan akan menjadi polemik berkepanjangan bagi penyelidik / penyidik yang menangani perkaranya sekali pun terhadap perkara tersebut dapat di lanjutkan perkaranya sampai dengan proses penuntutan. Dan dalam hal ini pun para penuntut umum juga akan menemui kendala yang tidak beda dengan para penyelidik / penyidik.
Berkaitan dengan hal tersebut Riduan Syahrani menjelaskan bahwa “. . . sebagai salah satu faktor yang menentukan proses penegakkan hukum tidak hanya pihak – pihak yang menerapkan hukum, tetapi juga pihak – pihak yang membuat hukum” .
Dalam hal ini yang dimaksud Riduan Syahrani sebagai pihak yang “menerapkan hukum” adalah pihak penyidik kepolisian, Jaksa selaku penuntut umum, kehakiman, pengacara sebagai penasihat hukum, dan kelembagaan permasyarakatan sebagai lembaga pembinaan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi keberhasilan usaha penegakan hukum dalam masyarakat .
Dan apabila berbicara peranan sebenarnya lebih banyak tertuju pada deskresi yang menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, diamana penilaian pribadi juga memegang peranan. Dan dijelaskan oleh Soerjono soekanto seperti di kutip Riduan Syahrani bahwa dalam penegakan hukum deskrei sangat penting oleh karena :
a) tidak ada perUndang – undangan yang sedemikian lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua prilaku manusia ;

b) adanya kelambatan – kelambatan untuk menyesuaikan perundang – undangan dengan perkembangan – perkembangan di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidak pastian hukum ;

c) kurangnya biaya untuk menerapkan perUndang – undangan sebagaimana yang dikehandaki oleh pembentuk Undang – undang ;

d) adanya kasus – kasus individual yang memerlukan penaganan – penangan secara khusus .

Amanat yang diemban oleh UU RI No. 41 tahun 1999 pada dasarnya sebenarnya selain pemidanaan pelaku kejahatan berkaiatan dengan kehutanan adalah juga “pemeliharaan” hutan. Namun demikian sebagai efek jera memang adanya ketentuan pidana dalam aturan tersebut sebagai tujuan utama dalam penerapannya.
Namun demikian apa yang dimaksud oleh pembuat Undang-undang dalam aturan memang terkadang tidak akan seratus persen sama dengan kenyataan pelaksanaannya, karena pada saat pelaksanaan dari pada prosesnya terkadang ada kendala –kendala yang tidak secara lugas ada pemecahannya dalam suatu peraturan perUndang-undangan. Dapat dikatakan bahwa setiap masing-masing kasus adalah kasu-istis, dimana masing-masing kasus yang serupa dalam pemecahannya terkadang memiliki pola dan modus operandi yang berbeda antara satu dengan lainnya, sehingga cara mengatasi permasalahannya pun memiliki metode penanganan yang berbeda.
Melihat kenyataan diatas, akhirnya sebagai “action” pemerintah melalui aparatur penegak hukum untuk (dalam hal ini penyidik kepolisian) melakukan serangkaian tindakan kepolisian berkaitan dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 453/Kpts-II/1999 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan Dan Perairan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan seluas 1.839.494 (satu juta delapan ratus tiga puluh sembilan ribu empat ratus sembilan puluh empat) Hektar di lokasi Kuasa pertambangan PT. BCMP adalah tepat adanya.
Memang dalam suatu perundang – undangan dengan perundang – undangan lainnya saling berkaitan antara satu dengan lainnya, dimana hal ini juga tergambar jelas pada permasalahan berkaitan dengan kawasan hutan. Apabila dicermati memang antara hukum kehutanan dan pertambangan memang berkaitan sangat erat sekali, sedangkan disisi lain juga terjadi tarik menarik kewenangan antara kedua peraturan tersebut. Dimana seharusnya apabila terjadi hal yang demikian para pihak yang berwenang dan berkepentingan lebih memperhatikan bagaimana seharusnya yang berlaku pada suatu aturan perUndang – undangan yaitu, dimana untuk suatu aturan perUndang – undangan yang lebih rendah yang merupakan penjabaran dari aturan perUndang – undangan yang lebih tinggi tingkat urutannya.
H. salim HS., S.H., M.S. dalam bukunya HUKUM PERTAMBANGAN DI INDONESIA mengatakan bahwa “Pada prinsipnya, penggunaan kawasan hutan harus sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan penggunaan kawasan hutan yang menyimpang dengan fungsi peruntukkannya dengan syarat ada persetujuan dari Menteri Kehutanan” .
Dimana memang apa yang dimaksud oleh H. salim HS., S.H., M.S. adalah sebagaimana di maksud dalam pasal 38 ayat (1) sampai dengan ayat (3) yaitu :
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung ;
(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan ;

(3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan ;

Namun demikian sekalipun dalam pasal tersebut melalui ayat (1) sampai dengan ayat (3) memperbolehkan penggunaan kawasan hutan yang diluar peruntukkannya, namun pada ayat (4) serta ayat (5)nya terdapat pembatasan dimana untuk penggunaan kawasan hutan diluar fungsi dan peruntukannya.
“(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka (penulisan tebal dan garis bawah dari penulis) ;
(5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Namun demikian suatu peraturan memang hanya merupakan benda mati tanpa adanya aparatur yang menjalankannya serta menerapkannya selayak seharusnya peraturan tersebut dimaksudkan ada. Seperti ketentuan Kepmen tersebut diatas, memang hanya akan jadi benda mati atau tidak ada artinya tanpa adanya penerapan peraturan oleh aparaturnya.
Berkaitan dengan penetapan hutan ini sebenarnya untuk para masing – masing pelakunya harus mempedomani aturan yang tertuang dalam perUndang – undangan dari pada kepentingan, dimana dalam hal ini berlaku azas “lex superior derogate legi inferiori” atau aturan yang lebih tinggi mengenyampingkan aturan yang lebih rendah dalam hal kedua aturan tersebut mengatur suatu hal yang sama.
Selayaknya teori aturan perundang – undangan memang harus menjadi pedoman bagi para pihak yang berkepentingan atas aturan dimaksud, namun teori hanya akan menjadi teori penghias suatu kegiatan atau perbuatan atau sesuatu hal yang sama seperti yang dimaksud dalam teori tersebut tanpa adanya penerapan dari para pihak yang berkepentingan, dan teori hanya merupakan benda mati tanpa ada action dari para pihak berkaitan dengan teori tersebut, serta sebagaimanapun baiknya suatu teori, ia akan diuji dalam suatu praktek pelaksanaannya.
Dan menurut penulis sudah merupakan suatu kewajiban dan keharusan bagi para pihak yang berkepentingan berkaitan dengan masalah kehutanan tersebut untuk mempedomani aturan perUndang – undangan yang mengatur berkaitan dengan permasalahan tersebut. Tanpa adanya kepatuhan terhadap aturan perUndang – undangan yang mengatur maka akan terjadi kerancuan sebagaimana yang terjadi saat ini.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pemda kotabaru merasa untuk hal yang berkaitan dengan hutan yang memang erat kaitannya dengan tata ruang suatu wilayah, belum ada diatur dalam suatu peraturan yang lebih tinggi baik setingkat maupun lebih dari pada aturan yang dapat dikeluarkan oleh suatu pemerintah daerah kabupaten. Dengan memanfaatkan celah tersebut maka dikeluarkanlah aturan berkaitan dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten Kotabaru, oleh pihak pemda Kotabaru yang tanpa memperhatikan ketentuan dari Keputusan Menteri Kehutanan No. 453/Kpts-II/1999 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan Dan Perairan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan.
Yang perlu dicermati disini adalah bahwa, konflik norma tidak perlu terjadi apabila para pihak penentu kebijakan mempedomani aturan perundang – undangan yang berlaku dalam hal pembuatan aturan (perda) tersebut sebagaimana seharusnya dalam hierarki aturan perundang – undangan.

B. Kedudukan keputusan Menteri terhadap Peraturan Daerah berkaitan dengan penetapan kawasan hutan di Kabupaten Kotabaru.

Seperti telah dibahas pada sub bab II diatas, bahwa dalam hal ini keputusan menteri yang berkaitan dengan kawasan hutan merupakan perpanjangan tangan sesuai amanat dari Undang – undang. Dan menurut Prof. Dr. Zudan Arif Fakhrulloh SH., M.H., :
“ . . . bahwa kedudukan Peraturan menteri atau Keputusan Menteri lebih tinggi dari pada Peraturan Daerah, dengan argumentasi yuridis sebagai berikut :

(1) Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat kedudukannya lebih tinggi dari pada peraturan yang dikeluarkan oleh Peraturan Daerah.
(2) Ruang lingkup Keputusan Menteri bersifat nasional, sedangkan Peraturan Daerah bersifat lokal.
(3) Keputusan Menteri kedudukannya satu tingkat dibawah undang –undang artinya sejajar dengan Peraturan pemerintah, karena yang menentukan kedudukannya bukan lembaga yang menerbitkan, sehingga kedudukannya berada dibawahnya satu tingkat, yang merupakan delegated regulation.
(4) Keputusan Menteri merupakan penjabaran dari Pasal 1 ayat (3) dan ayat (14) UU RI No. 41 tahun 1999 bahwa yang memiliki kewenangan untuk menentukan suatu wilayah tetentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan menjadi kawasan hutan adalah Pemerintah pusat, sedangkan Pemerintah Daerah tidak memiliki kewenangan untuk menentukan atau merubah status kawasan hutan.”

Hal yang kurang lebih sama juga dinyatakan oleh Prof. Dr. H. M. HADIN MUHJAD, S.H., M.Hum., yang mengatakan bahwa :
“ sesuai ketentuan pasal 7 ayat (4) UU RI No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perUndang – undangan dan penjelasannya bahwa keputusan menteri mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila diperintahkan oleh peraturan perUndang – undangan yang lebih tinggi dan kedudukannya setingkat lebih rendah dari peraturan perUndang – undangan yang memberikan perintah (delegated regulation), sehingga (kedudukannya lebih tinggi dari peraturan Daerah. . . .”

Dengan demikian maka terhadap keputusan menteri tersebut dalam hal ini adalah (Keputusan Menteri Kehutanan No. 453/Kpts-II/1999 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan Dan Perairan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan) dapat dipastikan secara “de jure dan de facto” memang lebih tinggi setingkat daripada Peraturan Daerah No. 3 tahun 2002 tentang Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kotabaru (RTRWK) ataupun perda daerah lain yang mengatur hal serupa dalam Provinsi Kalimantan selatan.
Selanjutnya Handin juga mengatakan dalam kesempatan tersebut “ peraturan daerah tersebut secara material tidak sah, sehingga meskipun belum dibatalkan tetap tidak dapat dipedomani karena bertentangan dengan RTRW Nasional” . Apabila melihat kenyataan tersebut nyata sekali bahwa terhadap aturan yang berupa Peraturan Daerah No. 3 tahun 2002 tentang Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kotabaru (RTRWK) dalam pembuatannya tidak mempedomani tata urutan perundang – undangan dan tanpa memperhatikan aturan perUndang – undangan yang lebih tinggi.
Selain itu Handin juga menegaskan bahwa :
“dengan alasan apapun secara hukum Gubernur dan Bupati / Walikota tidak dibenarkan menetapkan kebijakan kehutanan yang bertentangan dengan Pemerintah Pusat, dalam hal ini Menteri Kehutanan. Apabila RTRW Kabupaten ingin merubah status kawasan hutan yang sudah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan untuk dialih fungsikan atau dikonversi menjadi perkebunan atau kegiatanlainnya, maka harus seijin Menteri Kehutanan dan dilakukan melalui prosedur pelepasan kawasan hutan” .

Apabila melihat kenyataan diatas, dapat dikatakan bahwa terhadap Peraturan Daerah No. 3 tahun 2002 tentang Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kotabaru (RTRWK) tersebut sebenarnya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap apa yang diaturnya, hal ini lebih dikarenakan aturan tersebut bertentangan dengan aturan diatasnya. Lain hal apabila ternyata aturan tersebut mempedomani aturan diatasnya, maka apabila demikian sudah barang tentu terhadap aturan tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat selayak atau seharusnya aturan PerUndang – undangan itu ada.
Hal tersebut pula yang menjadikan alasan mengapa terhadap Peraturan Daerah No. 3 tahun 2002 tentang Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kotabaru (RTRWK) tersebut dikatakan oleh Prof. Dr. H. M. HADIN MUHJAD, S.H., M.Hum. , bahwa peraturan daerah tersebut secara material tidak sah, sehingga meskipun belum dibatalkan tetap tidak dapat dipedomani karena bertentangan dengan RTRW Nasional.
Dan memang apabila Perda Kab. Kotabaru tersebut diterapkan dengan mendasari pasal 7 ayat (1) dan ayat (4) UU RI no. 10 tahun 2004 tentang heirarkie aturan perUndang – undangan maka terhadap aturan tersebut memang terhadap keberadaanya dapat dikatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena terhadap Keputusan Menteri Kehutanan melalui surat KEPMENHUTBUN Nomor : 453/Kpts-II/1999 tanggal 17 Juni 1999 tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di wilayah Propinsi Kalimantan selatan tersebut memang diperintahkan oleh aturan yang lebih tinggi dari aturan Perda tersebut, karena dalam hal ini keputusan menteri tersebut merupakan perpanjangan tangan atau penjabaran dari UU RI No. 41 tahun 1999.










BAB IV
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian permasalahan diatas, pada bab ini penulis menarik kesimpulan yaitu :
1. Dan terhadap Perda No. 3 tahun 2002 tentang Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kotabaru (RTRWK) dan aturan setingkat lainnya dalam wilayah provinsi kalsel berkaitan dengan mengatur hal yang sama (kawasan hutan) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan secara material tidak sah, sehingga meskipun belum dibatalkan tetap tidak dapat dipedomani karena bertentangan aturan yang lebih tinggi.
2. Bahwa terhadap Keputusan Menteri Kehutanan melalui surat KEPMENHUTBUN Nomor : 453/Kpts-II/1999 tanggal 17 Juni 1999 tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di wilayah Propinsi Kalimantan selatan secara hierarkie lebih tinggi dari pada Perda No. 3 tahun 2002 tentang Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kotabaru (RTRWK) dikarenakan terhadap keputusan menteri tersebut merupakan perpanjangan tangan atau penjabaran dari UU RI No. 41 tahun 1999.
B. Saran-saran

Adapun beberapa saran yang dapat penulis kemukakan dalam skripsi ini antara lain adalah :
1. Berkaitan dengan Kawasan hutan, perlu adanya ketegasan dari pihak – pihak penentu kebijakan atau pembuat peraturan perUndang – undangan atau pihak pembuat hukum, bahwa kedudukan surat KEPMENHUTBUN Nomor : 453/Kpts-II/1999 tanggal 17 Juni 1999 tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di wilayah Propinsi Kalimantan selatan sebagai dasar / penentu apakah seseorang atau terhadap suatu pihak dapat dikatakan melakukan tindak pidana kehutanan dan dapat dipidanakan, serta terhadap aturan tersebut (UU Ri No. 41 tahun 1999) bukan hanya sekedar pemberi efek jera yang menjadi huruf mati.
2. Sedangkan terhadap Pemkab. Kotabaru, agar dalam pembuatan Peraturan Daerahnya lebih memperhatikan metode, teknik serta aturan pembuatan suatu peraturan perUndang – undangan agar jangan terjadi hal yang tumpang tindih ataupun tarik menarik antara peraturan yang dibuat dengan pearaturan diatasnya. Dan dalam hal ini perlu adanya perubahan beberapa ketentuan dalam Perda No. 3 tahun 2002 tentang Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kotabaru (RTRWK) dan aturan setingkat lainnya dalam wilayah provinsi kalsel berkaitan untuk sinkronisasi agar lebih menjamin kepastian hukum.



DAFTAR PUSTAKA


Anwary, S., SH., Dr. , Quo Vadis Pemberantasan Korupsi di Indonesia, AMRA, Jakarta, 2005.

Bareskrim Polri, Kajian Yuridis kedudukan perda dan Kepmen dalam perkara penambangan dalam Kawasan Hutan di Prop. Kalsel, Direktorat V/ Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, jakarta, 2009.

Fitria, Nikmah, Hukum Tata Negara, Sekolah tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam Banjarmasin, 2007.

Hamzah, Andi., S.H., Dr., Prof. , Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, jakarta, 2006.

Salim, H. HS , Hukum Pertambangan di Indonesia, Rajawali Pers, jakarta, cet. III, 2007.

Walhi, Catatan akhir tahun lingkungan hidup kalimantan selatan 2009 Walhi Kalsel, Banjarmasin, Walhi, 2009

NANDRA DEDHI 2010

Rabu, 17 Maret 2010

TINJAUAN YURIDIS KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UU RI NO. 31 TAHUN 1999 JO UU RI NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Alasan Memilih Judul.
Dalam upaya pemberantasan korupsi banyak kendala yang dihadapi aparatur penegak hukum. Salah satu yang menjadi polemik pada saat aparatur penegak hukum tersebut menangani perkara atau kasus Tindak Pidana Korupsi adalah dimana tidak adanya kerugian terhadap keuangan Negara. Disisi lain korupsi dapat dikatakan telah berakar di benak para pelakunya. Berbagai macam upaya Pemerintah telah dilakukan dalam hal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik dari segi perbaikan peraturan perUndang-undangan sampai dengan reformasi aparatur serta membuat badan independen pemberantasan korupsi.
Pada tahun 2005, menurut data Pacific Economic dan Risk Consultancy, Indonesia menempati urutan pertama sebagai Negara terkorup di Asia. Jika di lihat dalam kenyataan sehari-hari korupsi hampir terjadi di setiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat .
Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum, seperti memberi hadiah kepada pejabat/pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan. Kebiasaan itu dipandang lumrah dilakukan sebagai bagian dari budaya ketimuran. Kebiasaan koruptif ini lama-lama menjadi bibit-bibit korupsi yang nyata .
Dimana di Indonesia korupsi seperti membudaya, walaupun perbuatan korupsi sendiri bukan merupakan yang termasuk dalam kategori / atau yang dimaksud dalam definisi budaya.
Di sisi lain dalam acara International Criminal Police Organisation 10 th ASIAN REGIONAL CONFERENCE tanggal 11 April 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan :
“korupsi bisa dihapus dalam satu generasi, bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meyakini kejahatan korupsi dapat diberantas dalam satu generasi, anda boleh berfikir bahwa saya (Presiden) terlalu optimistis, tapi saya percaya bahwa korupsi dapat di hapuskan secara signifikan dalam satu generasi” Hal tersebut menurut Presiden terjadi di Negara lain seperti Hongkong dan Singapore” .

Agaknya ada suatu muara besar tentang korupsi yang perlu ditelusuri, mengapa korupsi bisa terjadi. Jatuhnya moralitas yaitu moral yang meracuni sifat ingin mendapatkan apa yang bukan haknya atau dengan kata lain usaha illegal, aksi tipu-tipu, suap dan upeti (gratifikasi) seperti menjadi pertanda bahwa sikap inilah yang menjadi biang berbagai kasus korupsi.
Salah satu sisi kelebihan orde reformasi dibandingkan orde sebelumnya adalah dimana banyaknya dilakukan pembaharuan hukum, salah satunya berkaitan dengan korupsi. Dalam usaha pemberantasan korupsi selain telah diadakan pembaharuan terhadap sumber hukum pokok pemberantasan tindak pidana korupsi, juga telah dibentuk dan diberlakukan pula berbagai perangkat peraturan perundang-undangan lainnya sebagai penunjang dan pelengkap dasar hukum bagi pemerintah dalam upaya pencegahan serta pemberantasan tindak pidana korupsi.
Namun demikian tetap saja sampai dengan saat ini antara para pihak, baik dari tingkat legislatif, yudikatif, dan eksekutif sendiri masih ada perbedaan persepsi mengenai apa dan bagaimana serta seperti apa (kriteria) yang termasuk kerugian Negara dan mengenai apa dan bagaimana serta seperti apa yang termasuk keuangan Negara.
Pada dasarnya dalam penanganan kasus / perkara Tindak Pidana Korupsi, kerap / atau sering kali aparatur (baik Penyidik, Penuntut Umum / jaksa, dan hakim) berhadapan / terbentur dengan permasalahan dimana tidak adanya kerugian terhadap keuangan Negara, sekalipun unsur melawan hukum (weterrechtelijk) dari pasal-pasal dalam UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi telah terpenuhi.
Tidak jarang beda pendapat antara penyidik dengan penuntut umum atau penuntut umum dengan hakim mengenai kerugian Negara dan keuangan Negara menjadikan terhadap suatu penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi menjadi jalan di tempat bahkan terhambat, meskipun unsur melawan hukum serta unsur-unsur lain dalam suatu pasal yang disangkakan kepada tersangka atau terdakwa telah terpenuhi.
Dalam pasal 4 UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi menyatakan bahwa “pengembalian kerugian Negara tidak menghapus pidana”.
Namun demikian pada kenyataannya apabila tanpa adanya kerugian Negara atau kerugian negara telah dikembalikan maka terhadap suatu penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi jarang sekali berakhir seperti yang di cita-citakan. Walaupun ada pasal-pasal dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang tidak mengharuskan adanya Kerugian Negara dalam salah satu unsurnya.
Dari kenyataan tersebut di atas dapat diketahui bahwa sekalipun dalam Pasal 4 UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi menyatakan bahwa “pengembalian kerugian Negara tidak menghapus pidana”, pada kenyataannya unsur merugikan keuangan Negara adalah hal yang sangat menentukan bagi penanganan kasus / perkara tindak pidana korupsi.

Oleh karena itu, maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan ini ke dalam sebuah skripsi yang diberi judul “ TINJAUAN YURIDIS KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UU RI NO. 31 TAHUN 1999 JO UU RI NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI “.

B. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari pada penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejauh mana implementasi Pasal 4 UU RI No. 31 tahun 1999 berkaitan dengan pengembalian Kerugian Keuangan Negara menurut UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi Jo UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi dalam kenyataannya.
2. Untuk mengetahui mengenai kriteria kerugian keuangan Negara.
Sedangkan kegunaan penelitian dalam rangka penulisan skripsi ini adalah :
1. Sebagai bahan informasi ilmu pengetahuan hukum bagi masyarakat luas serta secara teoritis penelitian ini dapat memperkaya khazanah ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya, dalam mempelajari dan memahami tentang peraturan perundang-undangan terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Sebagai bahan masukan sekaligus juga sebagai bahan sumbangan pemikiran bagi masyarakat umum khususnya bagi aparat penegak hukum dalam menangani dan menyelesaikan masalah-masalah yang berkenaan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.

C. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas, maka penulis membatasinya hanya dengan membicarakan mengenai :
1. Bagaimana pengembalian Kerugian Keuangan Negara menurut UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi Jo UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi dalam kenyataannya ?
2. Bagaimanakah kriteria yang dimaksud dengan kerugian keuangan Negara dalam kenyataannya ?

D. Metode dan Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, pada prinsifnya digunakan metode penulisan hukum normatif yang pada dasarnya bersifat deskriktif, yaitu suatu metode penulisan hukum yang berusaha untuk memberikan gambaran-gambaran secara umum mengenai masalah yang akan dibahas, untuk kemudian dianalisis dan dipecahkan melalui penafsiran-penafsiran terhadap dan / atau berhubungan dengan bahan hukum yang ada.
Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang berupa peraturan perundang-undangan. Dalam skripsi ini bahan hukum primer meliputi :
- UU RI No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ;
- UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi ;
- UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi ;
- UU RI No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara ;
- UU RI No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara ;
- UU RI No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ;
- UU RI No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang beorientasi sepenuhnya kepada literatur-literatur serta buku-buku, bacaan lainnya yang berhubungan dengan permasalahannya yang relevan dengan pokok bahasan.
Selanjutnya, bahan-bahan hukum tersebut dipilah-pilah dengan terlebih dahulu menganalisis hal-hal yang bersifat umum, lalu kemudian di hubungkan dengan hal-hal yang bersifat khusus, sehingga diperoleh bahan hukum yang sebenarnya, untuk selanjutnya disusun sesuai dengan sistematikanya.
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini dibagi ke dalam 4 (empat) bab pembahasan yang secara garis besarnya dapat dikemukakan sebagai berikut :
Bab I merupakan Pendahuluan yang berisikan alasan pemilihan judul, tujuan dan kegunaan penulisan, perumusan dan pembatasan masalah, metode dan teknik penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II merupakan Landasan Teoritis dan Yuridis tentang Tindak Pidana Korupsi, yang mengenai tentang Pengertian dan Dasar Hukum Tindak Pidana Korupsi, jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi, Rumusan Pidana Korupsi menurut pasal 2 dan 3 UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pengertian dan Dasar Hukum Keuangan Negara dan Kerugian Negara, serta Perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi tanpa kerugian Keuangan Negara.
Bab III merupakan Masalah pengembalian kerugian Keuangan Negara menurut UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam kenyataannya, serta mengenai kriteria yang dimaksud dengan kerugian keuangan Negara dalam kenyataannya.
Bab IV merupakan penutup yang berisikan beberapa kesimpulan dan saran terhadap pokok masalah yang dibahas dalam skripsi ini.
BAB II
LANDASAN TEORITIS DAN YURIDIS TENTANG
TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Pengertian dan Dasar Hukum Tindak Pidana Korupsi.
Istilah korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa latin yakni corruptio atau corruptus yang disalin ke berbagai bahasa. Misalnya disalin dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt dalam bahasa Perancis menjadi corruption dan dalam bahasa Belanda disalin menjadi istilah corruptie (koruptie) . Dapat dikatakan bahwa korupsi dalam bahasa Indonesia menyadur dari kata corruptie dalam bahasa Belanda.
Adami Chazawi dalam bukunya Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia mengatakan bahwa :
Istilah korupsi dikenal dalam peraturan perUndang-undangan Indonesia pertama kali yaitu dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 (BN No. 40 tahun 1958) yang diberlakukan pula bagi penduduk dalam wilayah kekuasaan angkatan laut melalui Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.1/17 tanggal 17 april 1958 .

Namun demikian istilah korupsi tersebut tidak secara tersurat ada di katakan atau disebutkan dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 (BN No. 40 tahun 1958) dan dalam Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.1/17 tanggal 17 april 1958.
Dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 (BN No. 40 tahun 1958) dan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.1/17 tanggal 17 april 1958, korupsi dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
1. Perbuatan Korupsi Pidana
Adalah apabila terjalin unsur-unsur kejahatan dan pelanggaran dengan demikian dapat dipidana dengan hukuman badan dan / atau denda yang cukup berat disamping perampasan harta benda hasil dari korupsi.
2. Perbuatan Korupsi Bukan Pidana
Adalah apabila terdapat unsur perbuatan melawan hukum, perbuatan korupsi ini tidak diancam dengan hukuman pidana melainkan diadili oleh Pengadilan tinggi atau gugatan Badan Koordinasi penilik harta benda.
Menurut S. Anwary dalam bukunya Quo Vadis Pemberantasan Korupsi di Indonesia lengkapnya mengenai perumusan korupsi pidana dan korupsi lainnya adalah sebagai berikut :
1. Perbuatan Korupsi :
Yang disebut dengan perbuatan korupsi adalah :
a) Perbuatan yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau daerah atau merugikan suatu badan keuangan Negara atau daerah dan badan hukum lain, yang mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat ;
b) Perbuatan yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, serta yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan;
c) Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, pasal 210, pasal 418, pasal 412, pasal 420 Kitab Undang-undang hukum pidana.

2. Perbuatan Korupsi lainnya :
Yang dimaksud sebagai perbuatan Korupsi lainnya adalah :
a) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau daerah atau merugikan suatu badan keuangan Negara atau daerah dan badan hukum lain, yang mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat ;
b) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, serta yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan .

Dimana dalam hal ini korupsi yang dimaksud dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 (BN No. 40 tahun 1958) dan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.1/17 tanggal 17 april 1958 tersebut ada pemisahan dimana ada yang termasuk lingkup Korupsi Pidana dan ada pula yang termasuk korupsi jenis lainnya.
Dikarenakan sifat dari peraturan tersebut hanya sementara (temporer), maka Pemerintah Indonesia saat itu menganggap perlu adanya pengganti dari peraturan tersebut. Dimana oleh Pemerintahaan saat itu keadaan yang demikian (terhadap tindak pidana korupsi) dianggap sebagai hal yang mendesak, maka dengan berdasarkan Pasal 96 ayat (1) UUDS tahun 1950, ditetapkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian berdasarkan UU RI No. 1 tahun 1960, Peperpu No. 24 tahun 1960 dirubah menjadi UU RI No. 24 Prp tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Didalam UU RI No. 24 Prp tahun 1960 tersebutlah pertama kali secara tersurat digunakan istilah Tindak Pidana korupsi dalam peraturan perUndang-undangan.
Dimana pertimbangan diundangkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian berdasarkan UU RI No. 1 tahun 1960, Peperpu No. 24 tahun 1960 dirubah menjadi UU RI No. 24 Prp tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi adalah dimana Pemerintah Republik Indonesia menganggap perlu adanya suatu peraturan perUndang-undangan yang khusus mengatur masalah korupsi.
Dalam penerapannya ternyata UU RI No. 24 Prp tahun 1960 masih belum mencapai hasil seperti yang diharapkan, sehingga akhirnya demi mencapai hasil seperti yang diharapkan UU RI No. 24 Prp tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi kemudian diganti dengan UU RI No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Setelah lebih dua dasawarsa berlaku, ternyata UU RI No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, apalagi dengan terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme yang melibatkan para penyelenggara Negara dengan para pengusaha.
Berdasarkan hal tersebut, akhirnya MPR menetapkan Tap. MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang antara lain menetapkan “agar diatur lebih lanjut dengan Undang-undang tentang upaya pemberantasan tindak pidana korupsi” yang dilakukan dengan tegas dengan melaksanakan secara konsisten Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Atas dasar Tap MPR tersebut maka ditetapkan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mulai berlaku sejak tanggal 16 Agustus 1999 yang dimuat dalam lembaran Negara tahun 1999 No. 140. Namun demikian sesuai perkembangan teknologi serta kemajuan jaman ternyata terhadap UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dikatakan tidak relevan lagi, karena ternyata para pelakunya sesuai perkembangan teknologi serta kemajuan jaman juga dalam modusnya turut menggunakan kecanggihan teknologi yang berkembang sesuai dengan perkembangan jaman sehingga akhirnya Pemerintah menganggap perlu untuk melakukan perubahan dan penambahan terhadap UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan hal tersebut akhirnya pemerintah mengeluarkan UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimuat dalam lembaran Negara No. 134 tahun 2001 dan diundangkan pada tanggal 21 November 2001.
Sedangkan alasan lain diundangkannya UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dapat dilihat dalam konsideran butir b UU RI No. 20 tahun 2001 yaitu :
1. Untuk lebih menjamin kepastian hukum ;
2. Menghindari keragaman penafsiran hukum ;
3. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak social ekonomi dan ekonomi masyarakat, serta ;
4. Perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Dengan diadakannya perubahan terhadap UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diharapkan dapat lebih mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Sedangkan definisi korupsi sendiri adalah sebagaimana dimaksud dalam UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dimana dalam peraturan tersebut korupsi menurut KPK dibagi menjadi 7 jenis terdiri dari pertama korupsi dalam kategori merugikan keuangan negara, kedua suap menyuap, ketiga penggelapan dalam jabatan, pemerasan, kelima perbuatan curang, keenam benturan kepentingan dalam pengadaan, dan ketujuh gratifikasi.

Disisi lain definisi korupsi menurut hasil dari Lebanon Anti Coruption Intiative Report yang diadakan di Lebanon oleh negara-negara anti korupsi pada tahun 1999 seperti dikemukakan oleh Direktur Penindakan KPK Brigadir Jenderal Suedi Husein, SH., dalam Pelatihan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta tanggal 5 s/d 10 Oktober 2009 adalah ” pelaku-pelaku, individu-individu swasta maupun pejabat pemerintah yang telah menyimpang dari tanggung jawab yang telah di tetapkan dengan menggunakan jabatan atau kekuasaan mereka untuk mencapai tujuan pribadi maupun kepentingan pribadi mereka” .
Menurut Pasal 1 ayat (3) UU RI No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perUndang-undangan yang mengatur tentang Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia, Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain.










B. Jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi
Kebiasaan berprilaku koruptif yang terus berlangsung di kalangan masyarakat salah satunya disebabkan karena masih kurangnya pemahaman mereka terhadap pengertian korupsi. Selama ini, kosa kata korupsi sudah populer di Indonesia. Hampir semua orang pernah mendengar kata korupsi, dari mulai masyarakat di pedalaman, mahasiswa, pegawai negeri, orang swasta, aparat penegak hukum sampai pejabat Negara. Namun jika ditanyakan kepada mereka apa itu korupsi, jenis perbuatan apa saja yang bisa dikategorikan tindak pidana korupsi? Hampir dipastikan sangat sedikit yang dapat menjawab secara benar tentang bentuk / jenis korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang .
Oleh karena itu sebelum dilakukan pembahasan sehubungan dengan implementasi pasal 4 UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi serta bagaimana kriteria kerugian keuangan Negara pada kenyataannya, ada baiknya diketahui dulu tentang bentuk / jenis korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU RI No. 31 tahun 1999).
Dalam UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi terdapat 13 pasal yang yang secara gamblang menjelaskan definisi korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dapat dirumuskan menjadi tiga puluh bentuk / jenis tindak pidana korupsi.
Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Ketiga puluh bentuk / jenis tindak pidana korupsi tersebut menurut Komisi Pemberatasan Korupsi perinciannya adalah sebagai berikut :
1. Pasal 2 ;
2. Pasal 3 ;
3. Pasal 5 ayat (1) huruf a ;
4. Pasal 5 ayat (1) huruf b ;
5. Pasal 5 ayat (2) ;
6. Pasal 6 ayat (1) huruf a ;
7. Pasal 6 ayat (1) huruf b ;
8. Pasal 6 ayat (2) ;
9. Pasal 7 ayat (1) huruf a ;
10. Pasal 7 ayat (1) huruf b ;
11. Pasal 7 ayat (1) huruf c ;
12. Pasal 7 ayat (1) huruf d ;
13. Pasal 7 ayat (2) ;
14. Pasal 8 ;
15. Pasal 9 ;
16. Pasal 10 huruf a ;
17. Pasal 10 huruf b ;
18. Pasal 10 huruf c ;
19. Pasal 11 ;
20. Pasal 12 huruf a ;
21. Pasal 12 huruf b ;
22. Pasal 12 huruf c ;
23. Pasal 12 huruf d ;
24. Pasal 12 huruf e ;
25. Pasal 12 huruf f ;
26. Pasal 12 huruf g ;
27. Pasal 12 huruf h ;
28. Pasal 12 huruf i ;
29. Pasal 12 B Jo Pasal 12 C dan ;
30. Pasal 13 ;
Dari ketiga puluh bentuk / jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 7 yaitu sebagai berikut :
1. Merugikan keuangan Negara :
- Pasal 2
- Pasal 3
2. Suap menyuap :
- Pasal 5 ayat (1) huruf a ;
- Pasal 5 ayat (1) huruf b ;
- Pasal 5 ayat (2) ;
- Pasal 6 ayat (1) huruf a ;
- Pasal 6 ayat (1) huruf b ;
- Pasal 6 ayat (2) ;
- Pasal 11 ;
- Pasal 12 huruf a ;
- Pasal 12 huruf b ;
- Pasal 12 huruf c ;
- Pasal 12 huruf d ;
- Pasal 13 ;
3. Penggelapan dalam jabatan :
- Pasal 8 ;
- Pasal 9 ;
- Pasal 10 huruf a ;
- Pasal 10 huruf b ;
- Pasal 10 huruf c ;
4. Pemerasan :
- Pasal 12 huruf e ;
- Pasal 12 huruf f ;
- Pasal 12 huruf g ;
5. Perbuatan curang :
- Pasal 7 ayat (1) huruf a ;
- Pasal 7 ayat (1) huruf b ;
- Pasal 7 ayat (1) huruf c ;
- Pasal 7 ayat (1) huruf d ;
- Pasal 12 huruf h ;
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan :
- Pasal 12 huruf i ;
7. Gratifikasi :
- Pasal 12 B Jo Pasal 12 C ;

Selain yang telah di jelaskan dalam ke-13 pasal dalam UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi, terdapat juga tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan menurut penulis tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana korupsi dalam bentuk lain selain yang dimaksud diatas.
Jenis-jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi tersebut adalah :
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi seperti di maksud dalam pasal 21 ;
2. Tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar sebagaimana pasal 22 jo pasal 28 ;
3. Bank yang tidak memberikan rekening tersangka sebagaimana Pasal 22 jo pasal 29 ;
4. Saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberikan sebagaimana Pasal 22 jo pasal 35 ;
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu sebagaimana Pasal 22 jo pasal 36 ;
6. Saksi yang membuka identitas pelapor sebagaimana Pasal 24 jo pasal 31.













C. Rumusan Pidana Korupsi menurut pasal 2 dan 3 UU RI No. 31 tahun 1999 Jo UU RI No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pidana Korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3 UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah delik (perbuatan pidana) yang meliputi perbuatan pidana materiil dan perbuatan pidana formil. Dimana hal ini di perjelas lagi dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) menyebutkan :
”bahwa yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil ’maupun’ dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila tersebut dianggap tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”.

Moeljatno menyebutkan delik sebagai ”perbuatan pidana”, sedangkan umumnya peraturan perUndang-undangan di Indonesia menyebutnya sebagai ”tindak pidana”, dan pada UU RI No. 31 tahun 1999 menyebutnya sebagai ”perbuatan melawan hukum” seperti yang tertuang dalam penjelasan pasal 2 ayat (1).
Yang dimaksud dengan delik formil (formeel delict) adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang, sedangkan yang dimaksud dengan delik materiil (meteriil delict) adalah delik yang dianggap telah selesai dengan terjadinya akibat dari tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang .
Menurut Moeljatno yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana diantaranya adalah :
a. Kelakuan dan akibat (= perbuatan) ;
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan ;
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana ;
d. Unsur melawan hukum yang obyektif ;
e. Unsur melawan hukum yang subyektif .

Dalam pembahasan ini, Moeljatno pun menekankan bahwa ”meskipun perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat melawan hukum yang subyektif” . Yang dimaksud Moeljatno disini adalah perlunya pembuktian unsur secara ”niat” terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tersangka ataupun terdakwa.
Sehubungan dengan dengan hal tersebut dalam bukunya Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi R. Wiyono mengatakan bahwa :
“Dengan dirumuskannya tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) sebagai delik formil, maka adanya kerugian keuangan Negara atau kerugian perekonomian Negara tidak harus sudah terjadi, . . . Dengan demikian, agar seseorang dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang ditentukan dalam pasal 2 ayat (1), tidak perlu adanya alat-alat bukti untuk membuktikan memang telah terjadi kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara” .


Maksudnya adalah dimana apa bila perbuatan tersebut dapat dibuktikan merupakan perbuatan melawan hukum maka tidak perlu adanya alat-alat bukti untuk membuktikan memang telah terjadi kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara. Melihat hal tersebut memang dapat dikatakan bahwa ketika perbuatan pidana tersebut selesai dilaksanakan maka seharusnya tidak perlu lagi adanya pembuktian terhadap adanya kerugian Negara. Dan yang menjadi pertanyaan apakah memang demikian, dan pasti sesuai seperti yang di inginkan oleh pembuat peraturan perUndang-undangan tersebut.
Karena sekalipun dengan dirumuskannya tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) sebagai delik formil, pada kenyataannya tetap saja secara praktek kerugian keuangan Negara tetap harus dibuktikan. Di sisi lain menurut Roeslan Saleh seperti di kutip oleh R. Wiyono bahwa “menurut ajaran melawan hukum, yang disebut melawan hukum materiil tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan hukum ‘tertulis’, tetapi juga dengan hukum ‘tidak tertulis’ ” .
Dalam kepustakaan hukum pidana terdapat 2 (dua) jenis dari ajaran sifat melawan hukum materiil yaitu :
a. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, yaitu suatu perbuatan, meskipun oleh peraturan perUndang-undangan tidak ditentukan sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud tetap merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum ;



b. Ajaran sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negative, yaitu suatu perbuatan, meskipun menurut peraturan perundang-undangan merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum .

Salah satu alasan mengapa UU RI No. 31 tahun 1999 menerapkan ajaran melawan hukum materiil seperti tersebut dalam penjelasan umumnya adalah agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara dan perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit.

D. Pengertian dan Dasar Hukum Kerugian Keuangan Negara.
Salah satu unsur terpenting dalam penanganan korupsi adalah adanya unsur Kerugian Keuangan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan keuangan Negara menurut Van Der Kemp adalah semua hak yang dapat dinilai dengan uang dan demikian pula segala sesuatu (baik berupa uang atau barang) yang dapat dijadikan milik Negara sehubungan dengan hal tersebut.
Sedangkan menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pengertian atau difinisi keuangan negara adalah :
“… semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1)”.


Dari pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara tersebut, menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, “Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi :
a. Hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman ;
b. Kewajiban Negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum Pemerintahan Negara dan membayar tagihan pihak ketiga ;
c. Penerimaan Negara ;
d. Pengeluaran Negara ;
e. Penerimaan Daerah ;
f. Pengeluaran Daerah ;
g. Kekayaan Negara / Kekayaan Daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada Perusahaan Negara / Perusahaan Daerah ;
h. Kekayaan lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan / atau kepentingan umum ;
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan Pemerintah.”

Sedangkan dalam penjelasan dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2003 ini tentang pengertian dan ruang lingkup keuangan negara menyatakan apabila dilihat dari sisi obyek yang dimaksud dengan “Keuangan Negara” meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Dari sisi subyek yang dimaksud dengan “Keuangan Negara” meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan Negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkain kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.
Dan dari sisi tujuan, “Keuangan Negara” meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Dalam Penjelasan umum UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dengan keuangan Negara adalah :
“… adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

(a) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah ;

(b) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara / Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.”



Sedangkan yang di maksud “Kerugian Negara” menurut Pasal 1 ayat (24) UU RI No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah :
“… kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik di segaja maupun lalai”.

R. Wiyono dalam bukunya Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatakan bahwa “yang dimaksud dengan “merugikan” adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan unsur “merugikan keuangan Negara” adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan Negara atau berkurangnya keuangan Negara” .
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan demikian, bahwa kerugian Negara / kerugian keuangan Negara adalah dimana apa saja yang seharusnya didapat oleh Negara baik itu berupa uang, surat berharga, barang dan yang dapat dinilai dengan uang yang nyata dan pasti jumlahnya, termasuk di dalamnya segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik itu di tingkat pusat maupun daerah namun tidak didapat atau kurang dari yang seharusnya didapat oleh Negara.



E. Perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi tanpa Kerugian Keuangan Negara.
Ada beberapa contoh kasus perkara-perkara korupsi di Kalimantan selatan contohnya, ada yang menarik perhatian berkaitan dengan korupsi, yaitu dimasa kepemimpinan Gubernur Sjahriel Darham, Pemprov. Kalsel melakukan pengadaan jasa pengerukan alur sungai Barito, dimana yang menarik perhatian disini adalah bahwa Polda Kalsel telah menyerahkan berkas perkara kasus tersebut ke Kejaksaan Ttinggi Kalsel, tapi pihak Kejati Kalsel memutuskan untuk tidak melanjutkan perkara tersebut ke tahap penuntutan dengan alasan tidak terdapat bukti kerugian Negara .
Dilain tempat dan lain waktu ada pula Putusan Hakim yang kontroversial dapat dilihat dalam putusan bebas murni oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung terhadap terdakwa tindak pidana korupsi Akbar Tanjung di tingkat kasasi pada tanggal 14 Pebruari 2004 membatalkan putusan pidana 3 tahun penjara terhadap Akbar Tanjung di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah dikuatkan di Pengadilan Tinggi Jakarta di tingkat Banding.
Beberapa pertimbangan Majelis Hakim Agung membebaskan Akbar Tanjung antara lain :
• Tidak terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi ;
• Lebih mengarah hukum administrasi ;
• Perbuatan Akbar Tanjung tidak merugikan Negara.

Sekalipun pasal 4 UU RI No. 31 Tahun 1999 telah mengamanatkan demikian (pengembalian kerugian keuangan Negara tidak menghapus pidana) dan dengan dirumuskannya tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) sebagai delik formil (maka adanya kerugian keuangan Negara atau kerugian perekonomian Negara tidak harus sudah terjadi), namun pada kenyataannya hal tersebut (tidak adanya kerugian keuangan Negara atau kerugian keuangan Negara telah dikembalikan) merupakan momok bagi penyelidik dan penyidik untuk melakukan proses pemidanaan.
Dan apabila kita lihat seluruh pasal-pasal yang terdapat dalam UU RI No. 31 tahun 1999 yang ada, memang tidak seluruh pasal tersebut mensyaratkan adanya kerugian keuangan Negara. Dimana kerugian keuangan Negara hanya di syaratkan pada pasal 2 dan pasal 3 saja. Namun demikian pasal-pasal lainnya umumnya hanya merupakan pasal penyerta dan bukan pasal pokok (kecuali pasal-pasal mengenai gratifikasi atau suap atau pasal yang dapat berdiri sendiri).
Sebagai contoh lain dalam Putusan Pengadilan Negeri Pelaihari tanggal 18 Juli 2006 No. 104/Pid.B/2006/PN.PLH yang menyatakan bahwa terdakwa Drs. MUHAMMAD BASUKI Bin KURSANI tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI” sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan primer, subsider, lebih subsider dan membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut.
Dalam hal ini tuntutan Penuntut Umum adalah primer : pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU RI No. 31/1999 sebagaimana di rubah dan di tambah dengan UU RI No. 20/2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke 1 Jo Pasal 65 KUHP, subsider : pasal 3 jo pasal 18 UU RI No. 31/1999 sebagaimana di rubah dan di tambah dengan UU RI No. 20/2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke 1 Jo Pasal 65 KUHP, lebih subsider : pasal 8 jo pasal 18 UU RI No. 31/1999 sebagaimana di rubah dan di tambah dengan UU RI No. 20/2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke 1 Jo Pasal 65 KUHP, lebih subider lagi : pasal 9 jo pasal 18 UU RI No. 31/1999 sebagaimana di rubah dan di tambah dengan UU RI No. 20/2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke 1 Jo Pasal 65 KUHP.
Dalam persidangan terungkap oleh ahli dalam hal Kerugian Negara (yang dalam hal ini oleh pihak BPKP) bahwa mengenai sangkaan kerugian Negara yang berupa tidak terbayarnya royalty batubara sebesar 6,5 % dari nilai harga batubara (yang seharusnya 13,5%, namun akibat perbuatan melawan hukum terdakwa Drs. MUHAMMAD BASUKI Bin KURSANI royalty yang dibayarkan hanya 7% saja), dikatakan oleh ahli bahwa hal tersebut merupakan pajak terhutang dan bukan kerugian negara.
Apa yang dikatakan oleh ahli BPKP dalam persidangan sebenarnya bertentangan dengan apa yang dikatakannya dalam Berita Acara Pemeriksaan di hadapan Penyidik. Pada saat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik ahli BPKP menyatakan bahwa hal tersebut (tidak terbayarnya royalty batubara sebesar 6,5 % dari nilai harga batubara yang seharusnya 13,5%, namun akibat perbuatan melawan hukum terdakwa Drs. MUHAMMAD BASUKI Bin KURSANI royalty yang dibayarkan hanya 7% saja) adalah kerugian Negara.
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Pelaihari tanggal 18 Juli 2006 No. 104/Pid.B/2006/PN.PLH yang menyatakan bahwa terdakwa Drs. MUHAMMAD BASUKI Bin KURSANI tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI” sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan primer, subsider, lebih subsider dan membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut, maka secara otomatis terhadap perkara dengan tersangka Drs. ADRIANSYAH Bin SYAHMINAN (selaku Bupati Tanah laut saat itu) yang merupakan splitzing dari perkara terdakwa Drs. MUHAMMAD BASUKI Bin KURSANI tidak dapat diajukan ke persidangan.














BAB III
MASALAH KERUGIAN KEUANGAN NEGARA MENURUT
UU RI NO. 31 TAHUN 1999 JO UU RI NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara.

Seperti telah penulis kemukakan diatas bahwa dalam upaya pemberantasan korupsi banyak kendala yang dihadapi aparatur penegak hukum. Salah satu yang menjadi polemik pada saat aparatur penegak hukum tersebut menangani perkara atau kasus Tindak Pidana Korupsi adalah dimana tidak adanya kerugian terhadap Keuangan Negara.
Menghadapi hal demikian tersebut tidak serta merta pemerintah kemudian lepas tangan, namun justru melakukan upaya-upaya perbaikan baik dari segi perUndang-undangan sampai dengan reformasi aparatur serta membuat badan independen guna pemberantasan korupsi. Sejalan dengan hal tersebut Prof. Andi Hamzah mengatakan “bagaimanapun baiknya suatu peraturan, ia (peraturan tersebut) masih akan di uji dalam praktek” . Menurut hemat penulis maksud beliau terhadap pernyataan tersebut adalah sebaik apapun aturan dibuat, baru akan berjalan sesuai dengan keinginan pembuat Undang-undang apabila aparatur yang menjalankan suatu aturan tersebut mempunyai kualitas yang baik dan di dukung dengan alat penunjang yang baik dalam pelaksanaan tugas aparatur tersebut di lapangan.
Hal senada juga dilontarkan oleh S. Anwary yaitu “bagaimanapun banyak dan baiknya suatu Peraturan PerUndang-undangan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau tindak pidana lainnya, apabila tidak disertai dengan Penegakan Hukum (law enforcement) akan menjadi lumpuh” .
Berangkat dari alasan tersebutlah kemudian pasal 4 yang termuat dalam UU RI No. 31 tahun 1999 di muat dalam peraturan perUndang-undangan tersebut. Karena dalam setiap perkembangan zaman, bahkan seiring dengan perkembangan zaman itu sendiri akan terjadi hal-hal baru (tidak terlepas dari masalah hukum khususnya Tindak Pidana Korupsi) yang kemudian suatu hal-hal baru tersebut menciptakan atau berkembang menjadi hal-hal baru lainnya. Dimana hal-hal baru tersebut akan menciptakan celah-celah hukum yang kemudian berkembang menjadi “recht vacuum” (kekosongan hukum). Dan sudah seyogyanyalah kita berwaspada dan mencari serta mengisi kemungkinan kekosongan hukum tersebut.
Salah satu wujud nyata perbuatan mengisi kemungkinan kekosongan hukum tersebut oleh pemerintah berkaitan dengan perangkat perundang-undangan korupsi adalah dengan memasukkan ketentuan seperti yang tersebut dalam pasal 4 UU RI No. 31 tahun 1999 kedalam perUndang-undangan, dimana hal tersebut sebelumnya (oleh UU RI No. 3 tahun 1971) belum tercover.
Dan berangkat dari alasan semacam itu pulalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di bentuk sebagai lembaga independen yang bebas dari pengaruh legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Salah satu alasan lainnya berkaitan dengan ketentuan seperti yang termuat dalam pasal 4 UU RI No. 31 tahun 1999 adalah sewaktu UU RI No. 3 tahun 1971 berlaku, terdapat putusan Pengadilan Tinggi Kupang tanggal 25 Maret 1992 No. 18/Pid/1992/P.T.K yang menyatakan tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima dan terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum, karena kerugian keuangan Negara / Daerah Tingkat II Sikka sebagai akibat dari perbuatan terdakwa telah dikembalikan sehingga kerugian keuangan Daerah Tingkat II Sikka sudah tidak dirugikan lagi.
Akan tetapi dalam tingkat kasasi, Putusan Pengadilan Tinggi Kupang tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI dengan Putusannya tanggal 29 Juni 1994 No. 1401 K/Pid/1992 dengan pertimbangan hukum bahwa meskipun kerugian keuangan Daerah Tingkat II Sikka sudah dikembalikan oleh terdakwa, tetapi “sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa tetap ada” dan tidak hapus serta tidak dapat dianggap sebagai alasan pembenar atau pemaaf atas kesalahan terdakwa, dan terdakwa tetap dapat dituntut sesuai hukum yang berlaku .
Jadi pada saat masa berlakunya UU RI No. 3 tahun 1971 pun dalam praktik peradilannya para praktisi hukum (aparatur Negara penegak hukum) telah menentukan bahwa pengembalian keuangan Negara tidak menghapuskan perbuatan pidananya, dan terhadap pelakunya tetap dapat dipidana, meskipun ketentuan seperti termuat dalam pasal 4 (UU RI No. 31 tahun 1999) belum ada.
Namun sekalipun demikian telah jelas seperti yang dimaksud oleh pembuat Undang-undang, dan bunyi dari Pasal 4 UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa :
“ Pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonamian Negara tidak menghapuskan pidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 “

tetap saja pada prakteknya faktor kerugian keuangan Negara atau lazimnya dalam tingkat Penyidikan para Penyidik menyebutnya sebagai Kerugian Negara merupakan faktor penentu untuk proses pemidanaannya.
Hal ini secara nyata dapat dilihat pada contoh kasus / perkara yang penulis paparkan pada sub Bab II diatas. Dimana terhadap tersangka pada masing-masing perkara mereka tidak dapat dilakukan pemidanaan karena tidak adanya kerugian Keuangan Negara.
Dalam proses penyelidikan maupun penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para penyelidik / penyidik kebanyakan atau lazimnya apa bila tanpa adanya kerugian keuangan Negara tidak akan di lanjutkan perkaranya sampai dengan proses penuntutan. Hal ini terjadi karena apabila tanpa adanya kerugian keuangan Negara atau kerugian keuangan Negara telah dikembalikan oleh pelaku tindak pidana korupsi maka itu akan mempersulit dalam hal proses pemidanaan saat penuntutan.
Hal ini karena selaku Auditor, baik auditor BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) atau BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), apabila kerugian Keuangan Negara telah dikembalikan seluruhnya / habis maka baik di dalam proses Penyidikan maupun Penuntutan (proses pemidanaannya) kerugian Keuangan Negara akan dinyatakan secara lugas dan jelas serta tegas (oleh Auditor) tidak ada, sekalipun kerugian Keuangan Negara pernah ada.
Contoh, apa yang terungkap oleh ahli BPKP di persidangan (pada kasus Drs. BASUKI Bin KURSANI selaku Kasi Perijinan Dinas Pertambangan Kab. Tala), dimana menurut penulis hal tersebut sesuai dengan pasal 186 KUHAP yaitu “keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan” , namun akibat pernyataannya (ahli BPKP) dalam sidang tersebut terhadap terdakwa tidak dapat di dakwa sesuai dengan dakwaan jaksa penuntut umum secara keseluruhan dan terhadap tersangka lain (Drs. ADRIANSYAH Bin SYAHMINAN selaku Bupati Tanah Laut) tidak dapat dilakukan proses pemidanaan sebagaimana yang disangkakan Penyidik.
Berkaitan dengan hal tersebut memang benar apabila Jaksa selaku Penuntut Umum berpegang pada ketentuan pasal 186 KUHAP, dimana kemudian berdasarkan hal tersebut akhirnya Jaksa memberikan pertunjuk kepada Penyidik Kepolisian untuk menghentikan perkara tersangka Drs. ADRIANSYAH Bin SYAHMINAN dikarenakan dengan alasan tidak terdapat cukup bukti untuk perkara tersebut sehingga layak diajukan ke persidangan.
Bukti yang dimaksud oleh Jaksa Penuntut Umum disini adalah bukti mengenai adanya kerugian Keuangan Negara. Contoh yang hampir serupa adalah pada perkara / kasus Gubernur Sjahriel Darham, Jaksa selaku Penuntut Umum berpegang pada tidak adanya kerugian Keuangan Negara pada pengadaan jasa pengerukan alur sungai Barito. Dimana Auditor menyatakan tidak ada kerugian Keuangan Negara, sekalipun unsur melawan hukum jelas terjadi.

Dan memang perlu kita pahami bahwa dalam beberapa jenis permasalahan pidana, upaya hukum pidana bukanlah merupakan sesuatu yang mutlak / harus dimana seorang pelakunya untuk di pidanakan. Dalam hal ini memang upaya pidana adalah “Ultimum remidium” atau upaya terakhir ketika upaya lain tidak dapat dilakukan.
Amanat yang diemban oleh UU RI No. 31 tahun 1999 pada dasarnya sebenarnya selain pemidanaan pelakunya adalah juga “asset tracing” (pengembaian kerugian keuangan Negara). Namun demikian sebagai efek jera memang adanya pasal 4 dalam aturan tersebut sebagai tujuan utama dalam penerapannya.
Apa yang dimaksud oleh pembuat Undang-undang dalam aturan memang terkadang tidak akan seratus persen sama dengan kenyataan pelaksanaannya, karena pada saat pelaksanaan dari pada prosesnya terkadang ada kendala-kendala yang tidak secara lugas ada pemecahannya dalam suatu peraturan perUndang-undangan. Dapat dikatakan bahwa setiap masing-masing kasus adalah kasuistis, dimana masing-masing kasus yang serupa dalam pemecahannya terkadang memiliki pola dan modus operandi yang berbeda antara satu dengan lainnya, sehingga cara mengatasi permasalahannya pun memiliki metode penanganan yang berbeda.
Melihat kenyataan diatas pendapat R. Wiyono berkenaan dengan pasal 4 UU RI No. 31 tahun 1999 menurut penulis benar adanya, dimana R. Wiyono mengatakan bahwa “ . . . ketentuan seperti yang terdapat dalam Pasal 4, khususnya mengenai pengembalian kerugian perekonomian Negara, besar kemungkinan akan menjadi ketentuan yang tidak ada artinya atau menjadi huruf mati “ .
Suatu peraturan memang hanya merupakan benda mati tanpa adanya aparatur yang menjalankannya serta menerapkannya selayak seharusnya peraturan tersebut dimaksudkan ada. Seperti ketentuan pasal 4 tersebut, memang hanya akan jadi benda mati atau tidak ada artinya tanpa adanya penerapan peraturan oleh aparaturnya.

B. Kriteria Yang Dimaksud Dengan Kerugian Keuangan Negara.
Dalam hal ini agar dapat dikatakan kerugian Negara apabila objek adalah barang milik Negara atau setidak-tidaknya yang seharusnya didapat Negara, namun bagaimana apabila terhadap objeknya tersebut hanya sebagian yang milik Negara sedangkan sebagian lain adalah milik swasta, apakah terhadap hal tersebut dapat dikategorikan sebagai kerugian Negara apa bila terjadi kerugian dalam pengelolaannya ?.
Seperti yang telah di uraikan pada sub Bab II diatas bahwa kerugian Negara / kerugian keuangan Negara adalah dimana apa yang seharusnya didapat oleh Negara baik itu berupa uang, surat berharga, barang dan dapat dinilai dengan uang yang nyata dan pasti jumlahnya termasuk di dalamnya segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah namun tidak didapat atau kurang dari yang seharusnya didapat oleh Negara.
Kemudian yang menjadi pertanyaan apakah segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara / Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara termasuk dari pada yang dimaksud dalam kategori keuangan Negara ?.
Menurut Erman Rajagukguk (guru besar Fakultas Hukum Univ. Indonesia) dalam seminar “Peran BUMN dalam mempercepat Pertumbuhan Perekonomian Negara” yang di sampaikan di Jakarta 12-13 April 2007, “dimana tidak adanya keseragaman, adanya kerancuan dan salah satu pemahaman mengenai Keuangan Negara dan Kerugian Negara telah mendatangkan ketidakpastian hukum . . .” .
Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menyatakan bahwa Perusahaan Persero, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan bahwa :
“ terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas . . . “.

BUMN yang berbentuk Perum juga adalah Badan Hukum. Pasal 35 ayat (2) UU RI No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menyatakan, Perum memperoleh status Badan Hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.
Berdasarkan pasal 7 ayat (4) UU RI No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Persero memperoleh status badan hukum pada tanggal di terbitkannya keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan (dalam hal ini Menteri yang dimaksud adalah Menteri Hukum dan HAM RI).
Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian suatu Badan Hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan Direksi (sebagai pengurus), Komisaris (sebagai pengawas), dan Pemegang Saham (sebagai pemilik).
Sebagai contoh, andaikata kita memasukkan tanah Hak Milik sendiri sebagai modal PT, Hak Milik tadi berubah menjadi HGB atau HGU atas nama PT, bukan atas nama kita lagi. Kekayaan kita hanyalah saham sebagai bukti modal yang kita setor dan sebagai pemilik perusahaan.
Dengan demikian kekayaan BUMN Persero maupun kekayaan BUMN Perum sebagai badan hukum bukanlah kekayaan negara. Dimana kekaburan pengertian Keuangan Negara dimulai oleh difinisi Keuangan Negara dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1).
Sedangkan Pasal 2 menyatakan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi, antara lain Kekayaan Negara/Kekayaan Daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.
Mahkamah Agung dalam Fatwanya menyatakan bahwa tagihan bank BUMN bukan tagihan negara karena bank BUMN Persero tunduk pada UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (yang saat ini telah diubah menjadi UU RI No. 40 tahun 2007). Dengan demikian Mahkamah Agung berpendapat kekayaan negara terpisah dari kekayaan BUMN Persero. Selanjutnya tentu keuangan BUMN Persero bukan keuangan Negara .
Dasar Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa tersebut adalah dimana Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara berbunyi:

“Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan” .

Dimana artinya dalam hal ini kekayaan dalam BUMN terpisah dari kekayaan Negara, hal ini pun kemudian lebih jelas lagi dalam pasal 4 ayat (1) UU BUMN menyatakan bahwa :
“Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan Negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat ” .

Jelas secara pengelolaan pun berbeda dengan pengelolaan APBN/APBD, dimana pembinaan / pengelolaan kekayaan BUMN/BUMD tersebut adalah didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat sebagaimana dimaksud dalam UU Perseroan terbatas, sedangkan APBN/APBD untuk pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah.
Dengan demikian menurut penulis bahwa yang berlaku disini adalah azas “lex specialist derogate legi generali”, dimana dengan adanya peraturan perUndang-undangan BUMN maka apa yang tertuang berkaitan hal serupa di dalam peraturan perundang-undangan lain harus dikesampingkan, selain itu apa yang tertuang dalam Pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 serta konsideran Dalam Penjelasan umum UU RI No. 31 tahun 1999 sehubungan yang dimaksud dengan keuangan Negara (berkaitan dengan BUMN / BUMD) menurut penulis tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.
Sulistio SH, seorang pengacara dan pengamat hukum perbankan seperti dikutip oleh Erman rajagukguk dalam tulisannya, “Fatwa MA dan Pengungkapan Korupsi BUMN” mengatakan :
“Saat ini ada beberapa direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi tersangka korupsi. Mereka didakwa telah menyalahgunakan keuangan Negara dan mengakibatkan kerugian Negara. Banyak pula persidangan direksi BUMN karena keputusannya, dalam rangka mengendalikan bisnis BUMN.

Para pejabat BUMN harus menjadi terpidana dan tersangka karena masih banyak pendapat yang menyatakan bahwa BUMN termasuk bagian kekayaan Negara. Oleh karenanya, segala keputusan direksi yang mengakibatkan kerugian BUMN, merupakan bagian dari tindak pidana korupsi. Apakah memang demikian ? ”

Adalah tidak adil, ketika ada pendapat yang menyatakan bahwa kekayaan BUMN adalah kekayaan pemerintah, namun disisi lain pemerintah tidak ikut bertanggung jawab terhadap kewajiban perseroan dan segala konsekwensinya. Sebab, sudah seharusnya jika pemegang saham juga harus ikut bertanggung jawab terhadap semua kewajiban perseroan. Dengan begitu, pemegang saham juga harus ikut pula menanggung segala konsekwensinya.
Sebenarnya ada doktrin “business judgment” yang menetapkan bahwa Direksi suatu perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, “apabila” tindakan tersebut didasarkan itikad baik dan hati-hati. Direksi mendapat perlindungan tanpa perlu memperoleh pembenaran dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan yang diambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan .
Dimana hal ini pun sebenarnya telah secara lugas diatur dalam pasal 104 ayat (4) huruf b UU RI No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan terbatas yaitu :
“anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseoan sebagaimana dimaksud ayat (2) apabila dapat membuktikan :

a. Kepailitannya tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya ;
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan ;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung, maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan, dan ;
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.

Dengan demikian, keluarnya fatwa MA sebenarnya mendudukan persoalan ini pada azas hukum yang benar. Sebab MA tidak menentukan kewajiban bagi pemegang saham untuk ikut memikul tanggung jawab atau liability.
MA sebagai “ laatstetoesteen van het recht” atau batu ujian terakhir hukum mempunyai kewajiban untuk menjaga dan menjamin adanya kepastian hukum. Bila MA tidak konsisten dengan fatwanya, sama saja menimbulkan ketidakpastian hukum di Indonesia. Jadi, wajib hukumnya bagi MA untuk konsisten dengan fatwanya .



Dalam seminarnya tersebut Erman Rajagukguk juga mengatakan bahwa :
“Fatwa hukum MA tersebut sebenarnya menjadi penegasan bahwa semua Undang-Undang (UU) yang menentukan kekayaan Negara atau kekayaan daerah yang telah dipisahkan sebagai modal BUMN, persero dan perusahaan daerah yang berbentuk PT, bukan lagi merupakan kekayaan Negara atau kekayaan daerah. Fatwa ini juga menegaskan bahwa unsur merugikan keuangan Negara –sebagai salah satu unsur pidana korupsi, tidak lagi dapat dikenakan pada BUMN serta Perusahaan Daerah.

Menurut hemat kami, fatwa MA sesuai dengan comunnis opinion doctrine dalam teori hukum universal. Maksudnya, suatu kekayaan termasuk keuangan badan hukum, adalah terpisah dari kekayaan pengurus dan pemiliknya atau pemegang saham” .

Jadi dalam hal ini apa bila melihat pembahasan diatas jelas dapat di bedakan yang mana termasuk keuangan Negara dan mana keuangan yang dipisahkan dari kekayaan Negara. Dan dari segi peraturan perUndang-undangan pun jelas telah diatur mengenai kententuan tersebut dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP dimana bunyinya :
“jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan”

atau dengan kata lain berlaku azas lex specialist derogate legi generali.







BAB IV

P E N U T U P

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian permasalahan diatas, pada bab ini penulis menarik kesimpulan yaitu :
1. Bahwa kerugian negara adalah syarat mutlak untuk suatu perkara Tindak Pidana Korupsi yang melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan 3 UU RI No. 31 tahun 1999. Dan berkaitan dengan pengembalian Kerugian Keuangan Negara pada perkara Tindak Pidana Korupsi memang pada dasarnya tidak menghapuskan pidananya, namun kenyataannya pada suatu perkara Tindak Pidana Korupsi tanpa kerugian keuangan Negara Tidak bisa dilakukan proses pemidanaan.
2. Suatu bentuk kerugian dapat di kategorikan sebagai kerugian Negara adalah apabila seperti yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (24) UU RI No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, namun tidak termasuk didalamnya atau pengecualian adalah terhadap kerugian yang derita oleh Persero BUMN / BUMD, karena berkaitan dengan itu BUMN / BUMD tuduk pada UU RI No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan UU RI No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan terbatas, atau dengan kata lain berlaku azas lex specialist derogate legi generali.


B. Saran-saran

Adapun beberapa saran yang dapat penulis kemukakan dalam skripsi ini antara lain adalah :
1. Berkaitan dengan tidak adanya Kerugian Keuangan Negara, perlu adanya peraturan perUndang-undangan yang lebih tegas dan keras yang menyatakan bahwa terhadap suatu perbuatan korupsi, sekalipun Kerugian Keuangan Negara telah dikembalikan tetap dapat dipidanakan terhadap para pelakunya dan bukan hanya sekedar pemberi efek jera yang menjadi huruf mati.
2. Sedangkan terhadap kepastian apakah suatu kerugian termasuk kerugian Negara atau bukan, agar para aparatur Negara penegak hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi dapat lebih memahami aturan perUndang-undangan dan azas-azas hukum yang berlaku serta diharapkan pihak aparatur Negara penegak hukum lebih konsisten dan konsekuen terhadap peraturan perUndang-undangan yang berlaku. Dan dalam hal ini perlu adanya perubahan beberapa ketentuan dalam beberapa Peraturan perUndang-undangan berkaitan untuk sinkronisasi agar lebih menjamin kepastian hukum.






DAFTAR PUSTAKA

Anwary, S., SH., Dr. , Quo Vadis Pemberantasan Korupsi di Indonesia, AMRA, Jakarta, 2005.

Chazawi, Adami., S.H., Drs. , Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2005.

Hamzah, Andi., S.H., Dr., Prof. , Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, jakarta, 2006.

Husein, Suedi., S.H., Brigadir Jenderal Polisi., Pelatihan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, tanggal 5 s/d 10 Oktober 2009.

Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi, KPK, 2006.

Lamintang, P.A.F. , Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar baru, Bandung, 1984.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

Murdiono, Eddy., Drs., Kombes Pol & Simanjuntak, Victor., Drs., Kombes Pol, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah, Polda Kalsel, Banjarmasin, 2007.

Rajagukguk, Erman., Prof. , Peran keuangan Negara dan Kerugian Negara yang disampaikan dalam Seminar Peran BUMN dalam mempercepat Pertumbuhan Perekonomian Negara, di Jakarta 12-13 April 2007.

Wiyono, R. , Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.